Uang dapat membawa maut. Itulah yang dialami Altantuya Shaariibuu (28), wanita asal
Di jalan raya, wanita yang fasih dalam beberapa bahasa asing ini berteriak- teriak, ’’Keluar kau Razak, bajingan!!!’’ Lima belas menit kemudian dua mobil patroli polisi merapat dan membawa Altantuya ke pos polisi Brickfields.
Kepada polisi, Altantuya menjelaskan, perbuatan onar itu dilakukannya karena Abdul Razak selalu menghindar jika didatangi ke kantornya. Altantuya bersama sepupu dan seorang teman wanita tiba di Kuala Lumpur dari Mongolia sepekan sebelumnya (8/10/2006). Tujuannya untuk menagih komisinya sebesar 500.000 dollar AS, yang sejak beberapa tahun lalu belum dibayar oleh Abdul Rajak Baginda.
Altantuya yang pernah kuliah di Moskwa dan Paris tidak cepat putus asa. Ia muncul kembali di depan rumah Abdul Razak pada 19 Oktober sekitar pukul 19.00 waktu setempat. Sekitar 10 menit kemudian dua mobil Proton merah dan hijau merapat dan membawa janda beranak dua itu.
Sejak itu Altantuya lenyap seperti ditelan bumi. Sepupu dan temannya yang menunggu di hotel melaporkan kepada polisi perihal hilangnya Altantuya di depan rumah Abdul Razak Baginda.
Proyek kapal selam
Pada 7 November 2006, secara kebetulan polisi menemukan serpihan tulang belulang manusia di kawasan hutan dekat Waduk Subang di pinggiran kota Kuala Lumpur. Setelah dilakukan tes DNA dengan ayah Altantuya yang datang ke Kuala Lumpur mencari anaknya, dipastikan bahwa korban adalah putrinya.
Hasil pemeriksaan forensik menunjukkan, korban ditembak dua kali di kepala dari jarak dekat. Setelah itu tubuh korban dihancurkan dengan menggunakan bahan peledak C-4, high explosive.
Tiga tersangka dalam kasus ini adalah Abdul razak Baginda, bos Malaysian Strategic Research Center, Inspektur Kepala Azilah Hardi, dan Kopral Sirul Azhar Umar. Kedua polisi berasal dari Unit Penindakan Khas, pasukan elite polisi, yang bertugas dalam pasukan pengamanan Deputi Perdana Menteri Najib Tun Abdul Razak.
Penggunaan bahan peledak dalam pembunuhan Altantuya jelas bukan semata-mata untuk menghilangkan jejak, tetapi menyangkut balas dendam atau amarah yang luar biasa.
Karena pelakunya dari anggota pengamanan Deputi PM Malaysia, berkembang spekulasi di masyarakat mengenai keterlibatan Najib Abdullah dalam hubungan asmara dengan wanita asal Mongolia itu. Sementara Abdul Razak pasang badan untuk menyelamatkan bosnya dari rongrongan Altantuya.
Altantuya sendiri berulang kali mengirim SMS yang bersifat mengancam Abdul Razak. Antara lain, jika komisinya tidak segera dibayar, ia akan membeberkan rahasia yang selama ini disimpannya rapat.
Tak jelas apa yang dimaksud ”rahasia”. Namun, jika hal itu berkaitan dengan komisi, ia menyangkut pembelian tiga kapal selam buatan Prancis. Parlemen Malaysia menduga terjadi penggelembungan harga ketiga kapal.
Pemerintah Malaysia membeli tiga kapal selam jenis Scorpone dengan harga sekitar 1 miliar euro pada awal tahun 2000. Pembelian dilakukan melalui perusahaan Primekar Sdn.Bhd (Kuala Lumpur), milik Abdul Razak Baginda. Perimekar mendapat komisi 11 persen atau lebih kurang 114 juta euro.
Kedekatan Abdul Razak Baginda dengan Najib Abdul Razak, yang juga menteri pertahanan, memudahkan Perimekar memenangi proyek kapal selam. Ketika tim negosiasi harga berangkat ke Paris, Altantuya tampil sebagai penerjemah dan sekretaris.
Hubungan asmara
Kasus Altantuya sekaligus mengungkap tali-temali kekuasaan, uang, dan seks yang melingkari kehidupan pejabat tinggi negara. Karena kekuasaan itu pula, proses hukum kasus pembunuhan ini berjalan lamban seperti keong, tertunda-tunda, dan sejak sidang pertama (4/6/2007) hingga sekarang belum sampai pada putusan hukum.
Ironisnya, media massa Malaysia hanya memberitakan sepintas peristiwa pembunuhan tersebut. Kendalanya bukan karena kasus tersebut kurang menarik, melainkan UMNO adalah pemilik sebagian besar media massa utama. Najib Abdul Razak sendiri merupakan orang kedua setelah PM Abdullah Badawi dalam jajaran kepemimpinan UMNO, partai puak Melayu.
Akan tetapi, laporan Raja Petra Kamarudin di blog internet di Malaysia Today (18/6) mengejutkan Malaysia. Mengutip laporan intelijen militer yang disampaikan kepada PM Abdullah Badawi, Raja Petra menulis, eksekusi Altantuya pada malam naas itu disaksikan oleh istri Najib Tun Razak, Rosmah Mansor, dan Kolonel (AD) Azis Buyong serta istrinya, Letkol (AD) Norhayati Hassan. Setelah Altantuya terkapar ditembak, Kolonel Aziz Buyong meletakkan C-4 di atas tubuh janda malang itu dan meledakkannya.
Kolonel Azis Buyong dan Letkol Norhayati memprotes laporan tersebut dan mengajukan gugatan hukum terhadap Raja Petra sebagai pemilik Malaysia Today, yang melakukan pencemaran nama baik. Sebaliknya, Raja Petra justru mendatangi pengadilan dan membuat pernyataan di bawah sumpah bahwa laporannya berdasarkan kejadian sesungguhnya.
Jika laporan intelijen tersebut benar, kehadiran Rosmah Mansor di lokasi kejadian memperkuat isu yang selama ini beredar di masyarakat, yakni hubungan asmara antara Najib Abdul Razak dan Altantuya telah membuahkan anak.
Selain itu, bocornya laporan tersebut ke tangan Raja Petra Kamarudin sekaligus menunjukkan adanya suatu skenario di kalangan militer untuk menjatuhkan pimpinannya, Najib Abdul Razak, sebagai Menteri Pertahanan.
Menguntungkan PM Badawi
Berbeda dengan kasus pembunuhan Altantuya, kasus sodomi II yang dituduhkan kepada Anwar Ibrahim terus-menerus mendapat sorotan media cetak dan elektronik Malaysia. Kalangan oposisi menyebut peristiwa ini sebagai konspirasi politik untuk merusak citra Anwar Ibrahim dan mengakhiri karier politiknya di bui.
Nama Deputi PM Najib Tun Abdul Razak disebut-sebut berada di balik konspirasi tersebut. Buktinya, tiga hari sebelum Saiful bin Azlan (23) melaporkan kepada polisi peristiwa sodomi yang dialaminya, ia diterima Najib Abdul Razak di kediaman resmi deputi PM.
Najib membantah keras tudingan itu. Belakangan, setelah muncul foto ajudannya bersama Saiful, ia mengaku pertemuan itu tiga bulan sebelum heboh sodomi II. Menurut Najib, saat itu Saiful meminta saran untuk mendapat beasiswa. Terakhir, Najib mengaku bertemu Saiful tiga hari sebelum melapor kepada polisi. Pertemuan itu membicarakan masalah sodomi.
Menurut Raja Petra, seusai dari kediaman Deputi PM Najib, Saiful bertemu dengan Asisten II Kepala Polisi di Raja Malaysia Mohd Rodwan Mohd Yusof di kamar 619 Concorde Hotel, Kuala Lumpur. Sebelum pertemuan ini, keduanya berkomunikasi lewat telepon seluler sebanyak delapan kali (Malaysia Today, 11/8).
Rodwan adalah perwira polisi yang merekayasa kasus sodomi I terhadap Anwar Ibrahim 10 tahun silam. Saat itu sebuah kasur besar ditampilkan sebagai barang bukti dalam persidangan. Di kasur yang pernah terjadi sodomi terdapat percikan darah Anwar Ibrahim.
Belakangan ketahuan bahwa darah tersebut dicuri Rodwan dari tempat penyimpanan sampel darah Anwar Ibrahim. Setelah hal ini terbongkar, jaksa penuntut umum meminta majelis hakim mencoret kasur tersebut dari daftar barang bukti.
Anwar Ibrahim divonis sembilan tahun penjara dalam kasus sodomi I. Namun, Mahkamah Agung membebaskannya tahun 2004.
Dalam kasus sodomi II, dua atau tiga jam sebelum melapor kepada polisi, Saiful lebih dulu datang ke Pusat Perawatan Islam,
Entah siapa yang melakukannya, kopi catatan medis Dr Osman atas pasien Saiful bin Azlan beredar di internet. Akibatnya, polisi tiga kali mendatangi Dr Osman dan mengancam akan menangkapnya jika menolak bekerja sama. Khawatir keselamatan dirinya, Dr Osman dan keluarganya terpaksa meninggalkan Malaysia
Dalam perkembangan selanjutnya, kecurigaan terhadap Deputi PM Najib sebagai sosok di balik konspirasi politik sodomi II mulai diragukan, terutama karena Najib sendiri mulai digerogoti dalam kasus Altantuya. Najib tidak menyadari bahwa ia sedang dikondisikan sebagai biang kerok semua gejolak.
Dalam hal ini, satu-satunya yang paling diuntungkan adalah PM Badawi. Jika Anwar dan Najib terlempar dari panggung politik, Badawi akan tetap berkuasa. Soal janji mundur tahun 2010 tidak harus dipenuhi, terutama karena calon penggantinya, Najib Abdul Razak, kemungkinan besar sudah meringkuk di bui bersama Anwar Ibrahim.