Apr 18, 2010

Jelajah Kuliner di Fatmawati

Nyaris selalu macet pada siang hari, kawasan Jalan RS Fatmawati Raya di Jakarta Selatan ternyata bersahabat saat matahari telah terbenam. Selain kepadatan kendaraan berkurang, gerai-gerai makanan justru jelas terlihat. Kelas kaki lima atau resto, semua menggoda kita untuk mampir.

Menyusuri Fatmawati akhir pekan lalu, di sepanjang ruas jalan antara ITC Fatmawati dan Mal D’Best saja, ada lebih dari 10 tempat makan. Sebut saja, penyetan Bu Kris yang amat dikenal itu, nasi angkringan Fatmawati, Bebek Kawi, Seafood 45, Blumchen Coffee, Warteg Setia, Roku-roku masakan Jepang, hingga pendatang baru yang resmi buka, Sabtu (10/4), yaitu Goela Djawa Resto.

Goela Djawa Resto, yang tepatnya terletak di Jalan RS Fatmawati Raya Nomor 19 dan 69 berada satu kompleks dengan SPBU Petronas, menjadi tempat pertama yang dijajaki. Ketertarikan diawali dari promosi yang menyatakan resto ini bertema Jawa dengan segala masakan tradisional maupun keunikan pernak-perniknya. Kemudian, ada tawaran potongan harga 20 persen selama 10 April-10 Mei. Hm… menggiurkan.

Sebuah ruang yang cukup lapang terhampar di depan mata. Di dekat pintu masuk, ada meja kasir yang bersebelahan dengan meja panjang untuk menu prasmanan. Di atas tungku-tungku tanah liat terhidang sambal goreng ati, krecek, sayur lodeh, rolade tahu, oseng tempe cabai hijau, garang asem, dan lainnya. Tinggal tunjuk mau yang mana dan jangan lupa pesan nasinya.

Di buku menu, ada tambahan daftar menu nasi liwet, nasi pecel, nasi lengko, sampai tahu gimbal. Minuman, seperti es dawet, kunir asem, teh poci gula batu, es kelapa muda, es kelapa jeruk, serta sederet pilihan lain, siap menemani santap kita. Teh pocinya mantap. Disajikan dalam poci, cangkir, dan nampan tanah liat, teh manis menyatu dengan harum melati dan rasa pahit kental.

”Kami sajikan masakan khas tradisional Jawa. Tidak cuma Solo dan Jogja, tetapi juga Semarang, Cirebon, dan sekitarnya,” kata pemilik Goela Djawa Resto Velia Febrianti.

Penataan ruang di resto ini amat mendukung acara santap santai. Ada sekitar 24 meja kayu berpasangan dengan bangku- bangku panjang. Setiap meja dan bangku setidaknya bisa dipakai 4-6 orang. Penataannya sederhana, lantainya hanya plesteran semen. Akan tetapi, pengunjung justru dipikat dengan hal-hal kecil, seperti selimut batik pada setiap tiang atau kuda lumping di dinding.

Velia menyasar konsumen segala umur, mulai dari keluarga, remaja, sampai untuk kegiatan kumpul-kumpul, seperti arisan. Apalagi jam bukanya fleksibel, dari pukul 09.30 sampai 22.00.

”Ngopi” dan angkringan

Masih tersisa waktu panjang pada akhir pekan? Berarti acara putar-putar di Fatmawati bisa dilanjutkan. Blumchen Coffee tepat menjadi sasaran berikutnya. Dari Goela Djawa Resto berputar arah saja dan akan menemukan kedai kopi ini di sisi sebelah kiri.

Kedai kopi mungil ini menawarkan suasana nyaman jauh dari kebisingan. Maklum, tempatnya tertutup meski dinding kaca tetap memberikan peluang melihat pemandangan jalanan.

Sebuah vespa merah menyala menghiasi etalase bersama dengan mesin penggiling kopi besar. Masuk ke dalam kedai, terlihat banyak jenis mesin penggiling biji kopi sengaja dipasang sebagai hiasan dipadu dengan deretan buku-buku dan foto dinding. Ada juga penjelasan tentang segala sesuatu terkait kopi, lengkap dengan sejarah, cara pembuatannya, serta gambar. Pilihan meja dan kursi ada yang berbentuk sofa atau meja kayu dengan hiasan aneka biji kopi tertutup kaca serta kursi rotan.

Soal makanan, hanya tersedia sandwich karena di sini memang cenderung fokus untuk menikmati kopi. Salah satu menu andalannya adalah Blumchen Spicy Coffee, kopi dengan rasa kaya rempah, antara lain, kayu manis. Biji kopi luwak asli tersedia juga. Hanya saja konsumen harus memesan dua hari sebelumnya. Namun, masih ada biji kopi mandailing, toraja, bali, lintong, atau gayo yang bisa langsung dibeli. Yang jelas, biji kopi itu asli kopi Indonesia. Mantap bukan?

Di ujung perjalanan menyusuri Fatmawati, iseng-iseng mampir ke warung kaki lima angkringan yang terlihat penuh pengunjung. Hanya ada satu gerobak panjang di angkringan ini yang berisi aneka gorengan. Wajib jeli melihat di antara baki plastik berisi gorengan, jangan sampai mau pisang goreng, tetapi keliru mengambil bakwan. Untuk lauk, ada sate cumi bungkus tepung, rempela ati, usus, dan banyak lagi. Ambil piring dan pilihlah sendiri lauk kesukaan.

Di ujung gerobak, ada mas-mas yang siap memanaskan gorengan kita dengan cara dipanggang. ”Duduk dulu, Mbak. Nanti diantar,” kata Mas-mas sambil menyerahkan secarik kertas bertuliskan nomor urut. Nantinya, seusai makan, secarik kertas itu dibawa ke kasir yang akan menghitung harga semua pesanan kita.

Sebelum duduk lesehan di atas terpal warna biru di sekeliling gerobak, pesanlah dulu minuman. Teh panas, es teh, teh jahe, wedang secang, susu segar, susu kopi, kopi panas, susu jahe dan susu secang tersedia.

”Secang ini seperti jahe, hangat di badan. Dari semacam kayu yang kalau direbus warna air jadi merah,” kata si pembuat.

Kali ini, perut benar-benar kekenyangan sekaligus senang. Apalagi di sini bisa berselonjor kaki langsung di bawah naungan langit di emperan Fatmawati sambil mengobrol bebas hingga warung tutup puku; 02.00. Lengkaplah sudah wisata kuliner hari itu.


No comments:

Post a Comment