Jun 20, 2009

Pergi ke Puncak ketika Musim Turis Timur Tengah Tiba (1)

RABU pagi itu (6/5) Suzuki APV berhenti di dekat Jembatan Cibeureum, kawasan Puncak, Cisarua, Bogor. Kedatangan mobil merah marun itu menarik perhatian para tukang ojek yang parkir di dekat jalan masuk ke kampung Gandamanah. Kaca tengah mobil itu lalu dibuka setengah. Dari jendela, tampak dua orang berambut dan berhidung khas Timur Tengah menoleh kiri kanan.

Tak lama kemudian salah seorang tukang ojek mendatangi mereka. Setelah berbincang sebentar, kedua lelaki berusia 40-an tahun berpostur tinggi itu turun. Mereka lantas memasuki salah satu vila di pinggir jalan. ’’Mereka sedang cari cewek (perempuan). Saya suruh mereka menunggu dulu,’’ kata tukang ojek yang mengaku bernama Asep itu kepada Jawa Pos.

Asep lantas kembali ke pangkalan ojek tadi. Dia lantas berbincang sebentar kepada dua tukang ojek koleganya. Asep dan dua temannya lantas menggeber motornya. Masing-masing bagi tugas ke jalan menanjak menuju kampung Tugu Selatan, Gandamanah, dan Warung Kaleng.

Transaksi ”kawin kontrak” memang biasa dilakukan di pangkalan ojek. Banyak di antara pengojek itu yang saat banyak turis Timur Tengah tiba nyambi jadi calo. Mereka tersebar di beberapa pintu masuk kampung. Selain Gandamanah, mereka ada di kampung Warung Kaleng, Tugu Utara, dan Tugu Selatan.

Hampir satu jam ”berburu”, dua tukang ojek itu kembali. Salah seorang tukang ojek yang ke Warung Kaleng tiba lebih dulu. Wajahnya murung. Dia menggeleng. Wanita yang biasa kawin kontrak di Warung Kaleng sudah tidak ada. Tak lama kemudian, Asep yang ke Tugu Selatan pun tiba. Raut wajahnya hampir sama dengan tukang ojek sebelumnya. ’’Payah, euy. Nggak ada barang,’’ keluh Asep.

Biasanya, kata lelaki asli Gandamanah itu, urusan itu bisa dia tangani sendiri. Tak perlu mengorder rekan tukang ojek lainnya. Dia sendiri sudah memiliki stok siapa saja yang bisa dikontrak. ’’Sekarang, stok saya sudah banyak yang ditangkap polisi. Banyak yang dibawa ke Pasar Rebo (tempat panti sosial, Red.),’’ keluhnya.

Akhir-akhir ini, Polres Bogor memang sedang gencar-gencarnya melakukan razia. Apalagi menjelang pemilu legislatif dan pilpres. Hampir tiap hari mobil patroli memasuki kampung-kampung. Pada Maret lalu, misalnya, petugas berhasil menjaring sekitar 20 wanita pelaku kawin kontrak.

Operasi itu membuat para pelaku kawin kontrak tiarap. Asep mengaku kesal dengan banyaknya razia. Sebab, itu membuat “stok” berkurang banyak. ’’Sekarang ini yang minta banyak, tapi barangnya nggak ada. Padahal ini masih Mei, belum Juni dan Juli yang datang semakin banyak,’’ keluhnya.

Mulai Mei hingga Agustus ini, kawasan Puncak memang diserbu para pelancong dari Timur Tengah. Masyarakat sekitar menyebut empat bulan masa “peak season” putaran uang di Puncak itu sebagai’’Musim Arab’’. Yakni, musim turis dari negara-negara Arab memadati kawasan dataran tinggi berbukit itu. Mereka biasanya pulang saat menjelang bulan puasa.

Namun, para pelancong itu tidak hanya dari Arab Saudi. Mereka juga datang dari negara-negara Timur Tengah lain seperti Kuwait, Iran, dan bahkan (di luar Timur Tengah) Pakistan. ’’Tapi, semua orang di sini menyebutnya ya orang Arab gitu aja. Nggak peduli mereka dari mana,’’ ujar bapak satu anak itu.

Para turis Timur Tengah itu tinggal di villa-villa sekitar kawasan Puncak. Biasanya, turis domestik menyewa vila selama satu hingga tiga hari. Namun, para turis Timur Tengah itu menyewa vila dalam jangka panjang: tiga hingga empat bulan. Nah, di sela-sela tinggal di kawasan vila itulah, beberapa dari mereka ’’mengisi’’ waktu liburan dengan kawin kontrak.

Untuk mencari calo kawin kontrak, tidak sulit. Kalau Anda bertampang ras kaukasoid atau sedikit berciri fisik Timut Tengah, Anda bahkan tak perlu bersusah-susah mencari mereka. Begitu menginjakkan kaki di bumi Puncak, beberapa calo akan mendekati Anda.

Bahkan, beberapa calo yang sudah profesional kini jemput bola dengan menghadang para tamu sejak di bandara Soekarno-Hatta. Mereka cukup menghafal kata dalam bahasa Arab yang maknanya adalah Puncak: Jabal. Mendengar itu, turis itu biasanya langsung mengangguk dan mengikuti sang calo.

Karena tak paham bahasa asing, para calo cukup menggunakan bahasa Tarzan untuk menawarkan kawin kontrak kepada mereka. Malah, para turis yang sudah tahunan mengunjungi Puncak, sudah biasa dengan bahasa Indonesia pasaran.

’’Tapi orang yang seperti itu yang jarang ngasih uang lebih. Yang sering datang ke sini malah lebih pelit daripada yang baru pertama datang,’’ ujar Asep.

Lantas, bagaimana prosedurnya? Salah seorang calo kawin kontrak, Husin, sebut saja begitu, mengakui awalnya memang harus ada kesepakatan harga. Untuk jangka waktu tiga hingga empat bulan, calo bisa mematok tarif Rp 5 juta hingga Rp 7 juta. Semakin lama jangka waktunya tarif semakin mahal.

Setelah itu, turis akan diajak untuk mendatangi calon mempelai wanita. Wanita itu biasanya masuk dalam list calo. ’’Mereka harus diajak. Kami kan nggak tahu. Kalau dikasih gula, ternyata minta yang kopi. Dikasih kopi, ternyata mintanya gula,’’ katanya. Gula dan kopi merupakan istilah umum di kamus calo untuk merujuk pada warna kulit calon istri. Kopi untuk yang berkulit hitam dan gula untuk yang berkulit putih.

Saat melihat calon mempelai, turis Timur Tengah tak hanya melihat warna kulit. Mereka juga harus mengecek kualitas fisik yang dimiliki calon mempelai. Tak jarang, mereka juga meraba-raba bagian yang menjadi ’’favorit’’ mereka. Kalaupun tidak jadi, calon mempelai yang sudah diraba-raba itu akan diberi uang ganti. ’’Ya, paling dikasih gocap (sekitar 50 ribu)’’ katanya.

Kata Husin, selera para turis Timur Tengah tak seperti orang Indonesia. Kalau para hidung belang Indonesia suka dengan yang masih belia, mereka lebih suka yang matang dengan fisik sedikit gemuk.

’’Mereka suka (maaf) pantat dan dada besar. Biasanya janda anak satu atau dua gitu mereka masih suka,’’ katanya. Usianya pun tak seberapa muda. Kisarannya 28-32 tahun.

Setelah cocok dengan calon mempelai, prosedur selanjutnya adalah melakukan pernikahan. Kawin kontrak cukup menghadirkan penghulu dan satu saksi. Yang jadi saksi biasanya adalah calo yang menjadi makelar itu sendiri. Sedan penghulunya bisa diatur. ’’Orang Arab masak tahu itu penghulu beneran atau nggak. Pokoknya kawin, beres,’’ katanya.

Setelah ’’prosesi’’ pernikahan, kedua mempelai teken tanda tangan di sebuah surat. Surat tersebut menjadi dokumen pengesahan untuk status mereka. ’’Mereka kan tidak mau zina. Mereka mau main, tapi nggak mau dosa. Jadi kawin kontrak itu seperti membuat hubungan mereka sah, padahal itu juga bohong-bohongan,’’ ujar Husin lantas terkekeh.

Dari uang ”mahar” yang dibayarkan itu, kata Husin, sebagian masuk ke kantong calo sebagai uang komisi. Nilainya beragam, bergantung kepintaran calo dan “mempelai” wanita. Kalau mempelai perempuan mudah ditipu, setengah nilai kontrak diembat calo. Tapi, Husin berkilah dia tidak rakus dalam mengambil komisi. ’’Kalau bayarnya Rp 7 juta, kita paling dapat Rp 2 juta. Tapi, kebanyakan sih cuma Rp 1 juta. Nggak lebih,’’ katanya sambil tersenyum kecil.

Seperti suami istri, setelah diikat ”kontrak” akad nikah, kedua mempelai diantar menuju tempat peraduannya. Yakni vila yang sudah disewa oleh mempelai pria. Yang wanita pun harus bersedia melayani sang pria. Layaknya hubungan suami-istri.

No comments:

Post a Comment