Mar 20, 2011

Pak De Menggapai Keadilan Tanpa Lelah

Liputan6.com - Mengingat Pak De (70), berarti mengenang kembali kasus pembunuhan yang cukup kontroversial dan menyita perhatian publik. Bahkan enam belas tahun silam kasus pembunuhan itu sempat menyita halaman surat kabar Ibu Kota dan daerah. Setelah penyelidikan yang cukup panjang dan melelahkan, akhirnya polisi mengarahkan dugaan kepada pria warga Susukan, Ciracas, Jakarta Timur itu.


Lantaran itu pula Pak De yang mempunyai nama asli Muhammad Siradjudin harus meringkuk di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur, selama 14 tahun. Ketika itu Pak De divonis kurungan penjara seumur hidup karena dituduh membunuh mantan peragawati asal Bandung Ditje Budiasih dan sebelumnya juga dituduh membunuh Endang Sukitri, pemilik toko bangunan di Depok.

Namun yang membuat geger adalah pembunuhan Ditje. Betapa tidak, pembunuhan tersebut selain mencuatkan sosok seorang dukun seperti Pak De juga menyebut-nyebut sejumlah nama yang saat itu dekat dengan kekuasaan. Namun, bila ditanya soal pembunuhan itu kepada siapa pun Pak De selalu menjawab: "Pak De tidak membunuh Ditje."

Pembunuhan Ditje terjadi Senin 8 September 1986 pukul 22.00 WIB. Tiba-tiba sebuah Sedan Honda Accord putih berhenti di tepi Jalan Dupa, Kalibata, Jakarta Selatan. Beberapa saat kemudian warga sekitar tiba-tiba kaget. Ternyata di dalam mobil bernomor polisi B 1911 ZW itu terbujur mayat Ditje dengan lima luka tembakan senjata api, tepat di belakang telinga, leher, ketiak, dan punggung.

Usut punya usut, polisi pun mengarahkan tuduhan kepada Pak De. Dia diduga kuat membunuh karena motif uang. Dalam berkas pemeriksaan disebutkan bahwa Ditje menitipkan uang sebesar Rp 10 juta kepada Pak De. Sedianya, duit tersebut bakal disulap menjadi ratusan juta rupiah seperti dijanjikan pria pensiunan tentara dengan pangkat terakhir pembantu letnan satu itu. Namun karena uang tersebut sudah habis untuk memenuhi kebutuhan hidup, Pak De nekat menghabisi nyawa Ditje.

Pak De tak bisa menolak ketika akhirnya harus duduk di kursi pesakitan. Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pak De membantah sebagai pembunuh Ditje seperti yang tercantum dalam BAP yang dibuat polisi. Pengakuan itu, menurut Pak De dibuat karena tak tahan disiksa polisi termasuk anaknya yang menderita patah rahang.

Ketika itu, Pak De mengajukan alibi bahwa Senin malam ketika pembunuhan terjadi, dia berada di rumah bersama sejumlah rekannya. Saksi-saksi yang meringankan untuk memperkuat alibi saat itu juga hadir di pengadilan. Namun, saksi dan alibi yang meringankan itu tak dihiraukan majelis hakim.

Akhirnya majelis hakim yang diketuai Reni Retnowati pada 11 Juli 1987 memvonis hukuman seumur hidup karena dianggap bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana. Karena merasa tidak bersalah, Pak De mengajukan banding sambil tetap menjalani hukuman di Cipinang.

Harapan tinggal harapan. Upaya banding kandas setelah Pengadilan Tinggi DKI Jakarta justru menguatkan putusan PN Jakarta Selatan. Kendati demikian, Pak De bukanlah tipe orang yang gampang menyerah. Ia kemudian mengajukan kasasi agar putusan dua hakim sebelumnya dibatalkan. Namun, lagi-lagi nasib baik belum berpihak. Majelis Hakim Kasasi Adi Andojo Sutjipto pada 23 Maret 1998 menolak permohonan itu.

Ini berarti Pak De harus menghabiskan hidupnya di hotel prodeo. Tapi ternyata tak demikian. Nasib baik kali ini berpihak kepada laki-laki berkumis tebal ini. Presiden B.J. Habibie memberikan grasi, berupa keringanan hukuman dari kurungan seumur hidup menjadi 20 tahun penjara pada 13 Agustus 1999. Akhirnya 27 Desember 2000 Pak De dapat meninggalkan Cipinang setelah pemerintah memberikan kebebasan bersyarat.

Setelah menghirup udara bebas kepada setiap orang kembali Pak De menyatakan: "Saya tidak membunuh Ditje,". Pak De dalam kasus pembunuhan itu merasa menjadi kambing hitam. Menurut dia yang mengkambinghitamkan adalah polisi dan Polda Metro Jaya. "Sebenarnya saat itu polisi tahu pembunuhnya," kata Pak De.

Bagi seorang sepuh seperti Pak De sebenarnya tinggal menikmati sisa usianya. Namun Pak De merasa belum nyaman karena cap sebagai bekas pembunuh masih melekat pada dirinya. Cap itu sangat mengganggu dan khawatir berdampak pada keluarga, anak, dan cucu.

Pak De merasa harus memulihkan nama baiknya. Karena itu ia menempuh upaya hukum terakhir dengan Peninjauan Kembali (PK). Permohonan PK pun diajukan 11 Desember 2001 dan sidang pertama 21 Januari silam. Selain mendesak Mahkamah Agung menyatakan dirinya tak terbukti membunuh Ditje, Pak De juga meminta penyelidikan ulang kasus pembunuhan itu.

Semula, bukti baru atau novum yang diajukan Pak De adalah pernyataan ahli Forensik Mun`im Idries di majalah Gamma edisi 10-16 Januari 2001. Dalam tulisan tersebut ahli forensik Universitas Indonesia yang juga mengotopsi Ditje menyebutkan lima peluru di tubuh peragawati yang sehari-harinya mengelola salon itu terdiri atas kaliber 22 dan 38. Ini artinya penembak Dice bukan satu orang. Namun dalam persidangan 4 Maret silam Mun`im mengakui bahwa pernyataan di Gamma dikutip dari ucapan Wakil Kepala Dinas Penerangan Polda Metro Jaya saat itu Mayor Polisi Hanif Akbar yang dimuat di media massa. Mun`im kembali meluruskan bahwa peluru di tubuh Ditje adalah kaliber 22.

Dengan keterangan Mun`im itu Pak De, tetap tak menyerah. Luhut Situmorang, pengacara Pak De dalam PK siap menghadirkan sejumlah saksi meringankan di pengadilan. Selain itu, Situmorang juga menilai Mahkamah Agung keliru dan salah menerapkan hukuman. Menurut Situmorang, jika Pak De bersalah dalam pembunuhan Ditje hukuman maksimal seharusnya 20 tahun bukan seumur hidup.

Sedangkan Adi Andojo beranggapan bahwa permohonan kasasi yang diajukan terpidana Pak De pada saat itu ditolak karena majelis hakim kasasi tidak melihat ada kesalahan pada penerapan hukum di PN Jaksel maupun di Pengadilan Tinggi Jakarta. Adi Andojo menambahkan, upaya PK bisa saja dilakukan asal memenuhi ketentuan yang telah diatur dalam hukum acara pidana.

Pengacara Luhut Pangaribuan yang menjadi kuasa hukum Pak De saat itu bersama Nursyahbani Katjasungkana dan Mohammad Assegaf, yakin bekas kliennya itu tak membunuh Ditje. "Sikap dia di usia senjanya masih mengajukan PK saja sebenarnya sudah menunjukkan Pak De tak melakukan pembunuhan," kata Luhut.

Luhut menyarankan, upaya PK Pak De harus hati-hati. Sebab, PK adalah upaya hukum terakhir. Ini artinya, bila PK Pak De ditolak, peluang hukum untuk memulihkan nama baik sudah tamat.

Luhut tak mempermasalahkan upaya PK diajukan pengacara berbeda. Tetapi yang penting, Luhut menambahkan, majelis hakim dapat melihat kasus itu dengan hati nurani. Majelis hakim juga harus mempertimbangkan nasib orang kecil. "Pak De harus diberi kesempatan menikmati hidup," kata Luhut.

No comments:

Post a Comment