Aug 23, 2008

Saat Bung Karno Jadi Sutradara


Deretan pakaian warna- warni gaya Eropa abad ke-19 hingga awal abad ke-20 digantung dalam lemari kaca di Gedung Persada Soekarno, rumah tinggal Bung Karno di Bengkulu. Busana aneka warna dan perlengkapan panggung itu merupakan warisan karya Soekarno di pembuangan saat dia mengembangkan salah satu talenta sebagai sutradara kelompok tonil ternama, Monte Carlo.

Pelbagai kisah roman, kepahlawanan, hingga dukungan Soekarno terhadap perjuangan Tiongkok saat diserbu Jepang tahun 1937 ditampilkan dalam pelbagai pertunjukan Monte Carlo. Pelbagai golongan masyarakat senantiasa memadati pertunjukan Monte Carlo yang juga berkeliling ke kota lain di Bengkulu semasa Soekarno diasingkan (1938-1942).

Lusi Liana, petugas di Persada Bung Karno, mengatakan, kostum kelompok Monte Carlo merupakan salah satu peninggalan Proklamator yang tidak banyak diketahui. ”Tidak banyak yang tahu bahwa beliau juga berbakat di seni panggung. Beliau sendiri yang menulis naskah dan mengatur kelompok Monte Carlo yang sangat terkenal sebelum Perang Dunia II,” kata Lusi.

Ragam naskah

Ragam naskah yang ditulis Bung Karno di Bengkulu menunjukkan betapa, meski hidup di pengasingan, dia tidak ketinggalan mengikuti perkembangan dunia luar. Sebagai contoh adalah naskah Chungking Djakarta, Rainbow atau Poetri Kentjana Boelan, Koetkoetbi, Si Ketjil (Klein’ duimpje), dan Hantoe Goenoeng Boengkoek. Kisah Chungking Djakarta memaparkan perjuangan masyarakat Tionghoa di Nusantara yang menyokong perang melawan agresi kaum fasis militer Jepang di daratan Tiongkok.

Bung Karno, seperti ditulis sejarawan Bengkulu Agus Setiyanto dalam Bung Karno Maestro Monte Carlo, bersikap menentang agresi Jepang di Tiongkok. Dikisahkan dalam Chungking Djakarta tentang perjuangan kaum Huakiao dan peranakan yang mengumpulkan dana perjuangan mendukung pemerintah Zhung Hua Min Guo (Republik Tiongkok) dalam menentang agresi Jepang yang membabi buta.

Kisah itu sejalan dengan karya sastra Melayu-Tionghoa pada zamannya, yang juga menyatakan perlawanan terhadap ekspansi fasis dan militer Jepang, seperti karya Batalyon Setan oleh Monsieur d’Amour dan Pendekar dari Chapei karya Kwee Tik Hoay yang diterbitkan ulang oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). Masa itu semangat perlawanan terhadap fasisme Jerman, Italia, dan Jepang memang menggelora.

Naskah lain menampilkan kedalaman, pemahaman pengetahuan, dan toleransi Bung Karno terhadap keberagaman. Kisah Rainbow alias Putri Kentjana Boelan menampilkan persaudaraan antarelite penguasa Inggris yang mengadopsi seorang putri bangsawan Bumiputera Bengkulu.

Kisah Koetkoetbi menampilkan cerita zaman Hindu di Jawa dengan para empu sakti hingga awal abad ke-20. Para arkeolog di Jawa awal abad ke-20 bertemu dengan Koetkoetbi, seorang pelayan kuil yang dikutuk Empu Agni. Pelbagai istilah dan kata bahasa Sansekerta dan Jawi Kuna digunakan Bung Karno.

Kisah terakhir tentang Klein Dumpje atau Si Kecil Djem- polan diadopsi dari kisah Eropa tentang kecerdikan seorang anak bungsu yang berhasil menyelamatkan enam kakak- nya yang nyaris dimangsa raksasa.

Sisi lain seorang Bung Karno dalam dunia panggung nyaris tenggelam ditelan masa. Bahkan, naskah-naskah karya Bung Karno di Bengkulu ditemukan secara tidak sengaja di Istana Bogor tahun 2002.

Padahal, ketika itu sejumlah bintang juga lahir dari Monte Carlo. Reputasi Monte Carlo kala itu nyaris seperti kelompok Dardanella, Miss Tjitjih. Salah seorang bintang panggung, yakni Hanafi, yang menambah namanya dengan Anak Marhaen (AM) Hanafi, kelak menjadi Duta Besar Republik Indonesia untuk Republik Kuba. Monte Carlo adalah sisi lain seorang Soekarno yang memiliki kedalaman rasa soal seni budaya. Kota Bengkulu dan Persada Bengkulu merekam catatan sejarah. (ONG)

Foto-foto Bung Karno lainnya >>