Kompas.com - Harapan muncul bagi jutaan pasangan suami istri di negara berkembang yang ingin memiliki anak. Sebuah proses laboratorium yang sederhana berhasil mengurangi biaya perawatan kesuburan dan proyek bayi tabung hingga hanya 200 euro atau sekitar Rp 2,5 juta.
Kantor berita AFP, Senin (8/7/2013), mengutip jumpa pers European Society fot Human Reproduction and Embryology (ESHRE) yang menegaskan, pengembangan dalam penyederhanaan proses laboratorium akan membuat biaya bayi tabung hanya 10 persen sampai 15 persen dari program bayi tabung yang ada selama ini.
Penggunaan sistem dua tabung menggantikan inkubator karbon dioksida khusus, gas medis, dan sistem purifikasi udara dalam menjaga embrio tetap sehat saat proses bayi tabung berlangsung. Sistem baru ini sudah dicoba di Belgia pada pasien dengan usia di bawah 36 tahun di mana sedikitnya delapan indung telur siap untuk proses kesuburan ini.
Dan, sejauh ini diklaim 12 bayi tabung "biaya murah" telah lahir dan kondisinya sehat. "Hasil awal kami sudah terbukti secara prinsip dan sebuah sistem yang sederhana telah didesain untuk negara-negara yang sedang berkembang, di mana perawatan kesuburan melalui bayi tabung sangat memungkinkan dengan biaya terjangkau," ujar Elke Kleskz dari Genk Institute for Fertility Technology.
Selama ini, proyek bayi tabung di negara-negara kaya membutuhkan biaya 1,5 juta sampai 3 juta euro (sekitar Rp 16 miliar sampai Rp 36 miliar). Biaya program bayi tabung ini bisa ditekan hingga biaya minimal kurang dari 300.000 euro. Namun, kini biaya tadi bisa ditekan lagi hingga hanya sekitar Rp 2,5 juta.
Program bayi tabung murah ini sedang disiapkan dan November mendatang diharapkan sudah tersedia pusat latihan bagi klinik di negara berkembang. Sudah ada lebih dari lima juta bayi tabung lahir sejak bayi tabung pertama, Louise Brown, lahir tahun 1978. Namun, biaya mahal membuat bayi tabung hanya bisa diperoleh di negara kaya atau hanya orang kaya yang sanggup membayar program bayi tabung.
Kini program itu bisa dikembangkan di negara berkembang di mana kaum perempuan di sana menghadapi stigma, disakiti dan dikecam karena dituduh sebagai penyebab pasangan tak punya keturunan. Lebih dari dua juta pasangan di negara berkembang menghadapi persoalan berkaitan dengan kesuburan.
Kantor berita AFP, Senin (8/7/2013), mengutip jumpa pers European Society fot Human Reproduction and Embryology (ESHRE) yang menegaskan, pengembangan dalam penyederhanaan proses laboratorium akan membuat biaya bayi tabung hanya 10 persen sampai 15 persen dari program bayi tabung yang ada selama ini.
Penggunaan sistem dua tabung menggantikan inkubator karbon dioksida khusus, gas medis, dan sistem purifikasi udara dalam menjaga embrio tetap sehat saat proses bayi tabung berlangsung. Sistem baru ini sudah dicoba di Belgia pada pasien dengan usia di bawah 36 tahun di mana sedikitnya delapan indung telur siap untuk proses kesuburan ini.
Dan, sejauh ini diklaim 12 bayi tabung "biaya murah" telah lahir dan kondisinya sehat. "Hasil awal kami sudah terbukti secara prinsip dan sebuah sistem yang sederhana telah didesain untuk negara-negara yang sedang berkembang, di mana perawatan kesuburan melalui bayi tabung sangat memungkinkan dengan biaya terjangkau," ujar Elke Kleskz dari Genk Institute for Fertility Technology.
Selama ini, proyek bayi tabung di negara-negara kaya membutuhkan biaya 1,5 juta sampai 3 juta euro (sekitar Rp 16 miliar sampai Rp 36 miliar). Biaya program bayi tabung ini bisa ditekan hingga biaya minimal kurang dari 300.000 euro. Namun, kini biaya tadi bisa ditekan lagi hingga hanya sekitar Rp 2,5 juta.
Program bayi tabung murah ini sedang disiapkan dan November mendatang diharapkan sudah tersedia pusat latihan bagi klinik di negara berkembang. Sudah ada lebih dari lima juta bayi tabung lahir sejak bayi tabung pertama, Louise Brown, lahir tahun 1978. Namun, biaya mahal membuat bayi tabung hanya bisa diperoleh di negara kaya atau hanya orang kaya yang sanggup membayar program bayi tabung.
Kini program itu bisa dikembangkan di negara berkembang di mana kaum perempuan di sana menghadapi stigma, disakiti dan dikecam karena dituduh sebagai penyebab pasangan tak punya keturunan. Lebih dari dua juta pasangan di negara berkembang menghadapi persoalan berkaitan dengan kesuburan.
No comments:
Post a Comment