Cnnindonesia.com - Ketika menanyakan tempat makan ala Batak atau dikenal lapo yang favorit di Jakarta, maka terdapat beberapa lokasi yang menjadi rujukan. Salah satunya terletak di Jalan Lapangan Tembak, Senayan, Jakarta Pusat. Tepatnya, di belakang gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Jakarta.
Di sana, terdapat beberapa lapo yang selalu ramai dikunjungi, seperti Lapo Ni Tongdongta. Lapo yang dimiliki oleh Joi Saragih itu letaknya langsung berhadapan dengan Jalan Lapangan Tembak, Senayan. Lapo itu berdiri di sana sudah lebih dari 25 tahun.
Memasuki lapo, seorang pelayan, R. Pakpahan menyambut dengan sigap dan menanyakan menu yang diinginkan pelanggan. Dua pelayan lain juga menghampiri meja dengan membawa dua buah mangkuk berisi air untuk mencuci tangan, tempat sendok dan garpu.
Tidak sampai 10 menit, menu siap tersaji. Pakpahan mengatakan babi panggang (B2) merupakan menu favorit pelanggan. B2 juga tersaji lengkap dengan sayur daun singkong yang ditumbuk.
Memasuki lapo, seorang pelayan, R. Pakpahan menyambut dengan sigap dan menanyakan menu yang diinginkan pelanggan. Dua pelayan lain juga menghampiri meja dengan membawa dua buah mangkuk berisi air untuk mencuci tangan, tempat sendok dan garpu.
Tidak sampai 10 menit, menu siap tersaji. Pakpahan mengatakan babi panggang (B2) merupakan menu favorit pelanggan. B2 juga tersaji lengkap dengan sayur daun singkong yang ditumbuk.
Malam itu, Kamis (19/1), sekitar pukul 19.00 WIB, pantauan CNNIndonesia.com, lapo nampak lengang. Belasan meja kosong dan hanya terlihat beberapa pelanggan saja.
Pakpahan mengatakan, lapo ramai hanya di siang hari. Saat ramai, puluhan motor dan mobil terparkir, bahkan Jalan Lapangan Tembak kerap mengalami kemacetan.
"Jam-jam ramai biasanya jam 11.00-15.00 WIB,” kata Pakpahan.
R. Pakpahan bercerita, selain membantu di lapo, ia juga menitipkan kue lapet untuk dijual.
Kue lapet adalah makanan ringan khas Batak yang terbuat dari tepung beras, gula merah dan kelapa. Lebih lagi, kue yang dibungkus daun pisang itu merupakan kue wajib saat pesta suku Batak.
Sang istri, Harianja, setiap pagi menyiapkan 50 buah kue untuk dibawa ke lapo. Satu kue harganya Rp3 ribu. Ia mengaku di usianya yang sudah 65 tahun sulit untuk mendapat pekerjaan.
"(Seharusnya) sudah pensiun, kerja ke mana-mana tidak bisa lagi," tuturnya.
Pakpahan melanjutkan cerita. Ia tak mengetahui harus bekerja apa jika tempatnya digusur. Ia hanya membayangkan, akan mencari tempat baru untuk menitipkan lapet buatan istrinya.
Keluh Pakpahan muncul karena lapo tempatnya bekerja dalam hitung hari akan rata dengan tanah. Hampir sekitar 200 pekerja seperti Pakpahan mengeluhkan hal yang sama.
Sejak 22 November 2016, Pusat Pengelola Kompleks Gelora Bung Karno (PPKGBK) sudah memberi pengumuman secara lisan maupun tertulis pada para pedagang di sentra kuliner Senayan bahwa perjanjian sewa keduanya akan berakhir per 15 Desember 2016 dan mengosongkan lokasi tersebut keesokan harinya.
PPKGBK tak memperpanjang kontrak karena kawasan tersebut akan dibangun fasilitas penunjang Asian Games 2018.
Sekitar 20-an pengusaha rumah makan di sana pun merasa keberatan atas putusan itu karena waktu yang diberikan oleh pengelola untuk pindah sangat singkat. Belum lagi, pengelola tidak menyediakan tempat relokasi. Dengan demikian, mereka harus mencari lokasi baru sendiri.
Sementara, mencari lokasi baru di kawasan Senayan, dengan harga sewa bersahabat, atau senilai Rp30 ribu per meter per bulan, pasti sudah tidak mungkin lagi.
Pada akhirnya, setelah diskusi panjang dengan para pedagang, PPKGBK sepakat untuk menunda penutupan sentra kuliner nasional ini hingga 28 Februari 2017.
Pakpahan mengatakan, lapo ramai hanya di siang hari. Saat ramai, puluhan motor dan mobil terparkir, bahkan Jalan Lapangan Tembak kerap mengalami kemacetan.
"Jam-jam ramai biasanya jam 11.00-15.00 WIB,” kata Pakpahan.
R. Pakpahan bercerita, selain membantu di lapo, ia juga menitipkan kue lapet untuk dijual.
Kue lapet adalah makanan ringan khas Batak yang terbuat dari tepung beras, gula merah dan kelapa. Lebih lagi, kue yang dibungkus daun pisang itu merupakan kue wajib saat pesta suku Batak.
Sang istri, Harianja, setiap pagi menyiapkan 50 buah kue untuk dibawa ke lapo. Satu kue harganya Rp3 ribu. Ia mengaku di usianya yang sudah 65 tahun sulit untuk mendapat pekerjaan.
"(Seharusnya) sudah pensiun, kerja ke mana-mana tidak bisa lagi," tuturnya.
Pakpahan melanjutkan cerita. Ia tak mengetahui harus bekerja apa jika tempatnya digusur. Ia hanya membayangkan, akan mencari tempat baru untuk menitipkan lapet buatan istrinya.
Keluh Pakpahan muncul karena lapo tempatnya bekerja dalam hitung hari akan rata dengan tanah. Hampir sekitar 200 pekerja seperti Pakpahan mengeluhkan hal yang sama.
Sejak 22 November 2016, Pusat Pengelola Kompleks Gelora Bung Karno (PPKGBK) sudah memberi pengumuman secara lisan maupun tertulis pada para pedagang di sentra kuliner Senayan bahwa perjanjian sewa keduanya akan berakhir per 15 Desember 2016 dan mengosongkan lokasi tersebut keesokan harinya.
PPKGBK tak memperpanjang kontrak karena kawasan tersebut akan dibangun fasilitas penunjang Asian Games 2018.
Sekitar 20-an pengusaha rumah makan di sana pun merasa keberatan atas putusan itu karena waktu yang diberikan oleh pengelola untuk pindah sangat singkat. Belum lagi, pengelola tidak menyediakan tempat relokasi. Dengan demikian, mereka harus mencari lokasi baru sendiri.
Sementara, mencari lokasi baru di kawasan Senayan, dengan harga sewa bersahabat, atau senilai Rp30 ribu per meter per bulan, pasti sudah tidak mungkin lagi.
Pada akhirnya, setelah diskusi panjang dengan para pedagang, PPKGBK sepakat untuk menunda penutupan sentra kuliner nasional ini hingga 28 Februari 2017.
Istri Joi, Triska Purba juga mengeluhkan hal yang sama. Ia kecewa karena mepetnya waktu penggusuran.
“Mereka minta tempat dikosongkan, padahal cari tempat tidak gampang. Makanan kita bukan makanan nasional,” kata Triska.
Sejarah Kawasan
Nano atau akrab disapa Pakde Nano menceritakan, ia bekerja menjadi tukang parkir di kawasan lapo sejak 1988. Ia merupakan generasi pertama dan mengetahui sejarah perkembangan kawasan rumah makan di sana.
Nano tinggal di belakang kios-kios rumah makan, sementara istri dan keempat anaknya berada di Solo, Jawa Tengah.
Nano mengatakan kawasan itu memiliki 20 tukang parkir. Ia bertugas mulai dari malam hingga subuh. Begitu mengetahui kawasan lapo akan digusur, ia mengaku semua tukang parkir mengeluh.
Ia sendiri mengeluh karena harus menghidupi keluarganya di Solo. Setelah membaca koran dan mengetahui kawasan lapo akan dijadikan gudang, ia pun berkeinginan menjadi penjaga gudang.
"Tapi tidak masuk akal (kalau) mau dibikin gudang, tanah senayan kan luas. Saya minta, saya saja yang jaga gudang," katanya.
Selain Lapo Ni Tongdongta, di sana juga terdapat Lapo Siagian boru Tobing. Letaknya berada di belakang Tongdongta. Lapo ini berdiri sejak 1992.
“Mereka minta tempat dikosongkan, padahal cari tempat tidak gampang. Makanan kita bukan makanan nasional,” kata Triska.
Sejarah Kawasan
Nano atau akrab disapa Pakde Nano menceritakan, ia bekerja menjadi tukang parkir di kawasan lapo sejak 1988. Ia merupakan generasi pertama dan mengetahui sejarah perkembangan kawasan rumah makan di sana.
Nano tinggal di belakang kios-kios rumah makan, sementara istri dan keempat anaknya berada di Solo, Jawa Tengah.
Nano mengatakan kawasan itu memiliki 20 tukang parkir. Ia bertugas mulai dari malam hingga subuh. Begitu mengetahui kawasan lapo akan digusur, ia mengaku semua tukang parkir mengeluh.
Ia sendiri mengeluh karena harus menghidupi keluarganya di Solo. Setelah membaca koran dan mengetahui kawasan lapo akan dijadikan gudang, ia pun berkeinginan menjadi penjaga gudang.
"Tapi tidak masuk akal (kalau) mau dibikin gudang, tanah senayan kan luas. Saya minta, saya saja yang jaga gudang," katanya.
Selain Lapo Ni Tongdongta, di sana juga terdapat Lapo Siagian boru Tobing. Letaknya berada di belakang Tongdongta. Lapo ini berdiri sejak 1992.
Pelanggan Tak Ambil Pusing
Mendengar kabar lapo akan segera di tutup, seorang pelanggan, Joshua Angga Pratama (28), menembus kemacetan Jakarta untuk melihat sendiri kondisi tempat 'nongkrong' favoritnya sejak SMA itu.
"Saya pikir sudah benar-benar tutup. Soalnya agak gelap," ujarnya.
Angga menceritakan, mencari sentra kuliner dengan pilihan makanan yang sangat beragam, seperti di kawasan Lapo Senayan cukup sulit.
"Mulai dari non-halal sampai halal. Khas Batak, Padang, Makassar dan Manado. Setiap Minggu, biasanya ada live musik batak juga di sini (Lapo Ni Tongdongta). Terus, (di depan rumah makan) ada yang jualan es durian,“ ujar Angga.
Lapo Senayan pun jadi tempat favorit Angga dan teman-teman untuk berkumpul sambil menunggu macet di ruas jalan utama Jakarta mereda. "Biasanya mobil kami tinggal di kantor, lalu naik moto ke sini. Tunggu macet reda sambil makan malam," ujarnya.
Namun demikian, kata Angga, seandainya sentra kuliner Lapo Senayan memang ditutup pada Februari mendatang, ia sendiri tidak terlalu ambil pusing.
"Cari makanan lain-lah. Mau bagaimana lagi. Kita (pelanggan) juga pasti tidak bisa berbuat apa-apa, kan?" ujar pegawai di Satuan Penyelenggara Administrasi SIM (Satpas) Daan Mogot, Jakarta itu.
Mendengar kabar lapo akan segera di tutup, seorang pelanggan, Joshua Angga Pratama (28), menembus kemacetan Jakarta untuk melihat sendiri kondisi tempat 'nongkrong' favoritnya sejak SMA itu.
"Saya pikir sudah benar-benar tutup. Soalnya agak gelap," ujarnya.
Angga menceritakan, mencari sentra kuliner dengan pilihan makanan yang sangat beragam, seperti di kawasan Lapo Senayan cukup sulit.
"Mulai dari non-halal sampai halal. Khas Batak, Padang, Makassar dan Manado. Setiap Minggu, biasanya ada live musik batak juga di sini (Lapo Ni Tongdongta). Terus, (di depan rumah makan) ada yang jualan es durian,“ ujar Angga.
Lapo Senayan pun jadi tempat favorit Angga dan teman-teman untuk berkumpul sambil menunggu macet di ruas jalan utama Jakarta mereda. "Biasanya mobil kami tinggal di kantor, lalu naik moto ke sini. Tunggu macet reda sambil makan malam," ujarnya.
Namun demikian, kata Angga, seandainya sentra kuliner Lapo Senayan memang ditutup pada Februari mendatang, ia sendiri tidak terlalu ambil pusing.
"Cari makanan lain-lah. Mau bagaimana lagi. Kita (pelanggan) juga pasti tidak bisa berbuat apa-apa, kan?" ujar pegawai di Satuan Penyelenggara Administrasi SIM (Satpas) Daan Mogot, Jakarta itu.
Hal serupa juga disampaikan oleh mantan politikus Partai Demokrat, Ruhut Sitompul. Dari pengakuan istri Lapo Ni Tongdongta, Triska Purba, Ruhut adalah salah satu pejabat yang cukup sering berkunjung untuk bersantap makan siang di sana.
"Tapi itu dulu, waktu masih muda. Sekarang kan sudah tua. Hati-hati, takut kolesterol,” kata juru bicara tim pemenangan pasangan calon (paslon) gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta, Ahok-Djarot itu.
Tidak heran kalau Ruhut pun tidak terlalu ambil pusing jika nantinya lahan sentra kuliner Lapo Senayan akan dialihfungsikan sebagai fasilitas penunjang ASEAN Games 2018.
"Kalau sewanya memang tidak diperpanjang mau bagaimana lagi? (Lagi pula) ditutupnya kan untuk acara internasional. Enggak masalah. Masih banyak tempat-tempat makan di tempat lain," ujar Ruhut.
Tujuh hari ke depan, pusat sentra makanan Senayan itu tinggal menjadi sejarah. Sejarah bahwa dulu ada suatu wilayah yang ramai pengunjung dan menjual aneka hidangan nusantara yang halal maupun non-halal. Selamat tinggal.
"Tapi itu dulu, waktu masih muda. Sekarang kan sudah tua. Hati-hati, takut kolesterol,” kata juru bicara tim pemenangan pasangan calon (paslon) gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta, Ahok-Djarot itu.
Tidak heran kalau Ruhut pun tidak terlalu ambil pusing jika nantinya lahan sentra kuliner Lapo Senayan akan dialihfungsikan sebagai fasilitas penunjang ASEAN Games 2018.
"Kalau sewanya memang tidak diperpanjang mau bagaimana lagi? (Lagi pula) ditutupnya kan untuk acara internasional. Enggak masalah. Masih banyak tempat-tempat makan di tempat lain," ujar Ruhut.
Tujuh hari ke depan, pusat sentra makanan Senayan itu tinggal menjadi sejarah. Sejarah bahwa dulu ada suatu wilayah yang ramai pengunjung dan menjual aneka hidangan nusantara yang halal maupun non-halal. Selamat tinggal.
No comments:
Post a Comment