Ilustrasi |
Tempo.co - Seusai sidang kabinet yang dipimpin Presiden Joko Widodo, pejabat yang menangani urusan keamanan membagi tugas. Rapat pada Selasa, 10 Mei 2016, itu membahas banyaknya laporan tentang peredaran kaus bergambar palu-arit serta kegiatan yang diduga akan memunculkan komunisme.
"Presiden jelas menyampaikan, gunakan pendekatan hukum karena TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 masih berlaku," kata Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti kepada wartawan di Istana Negara.
Di situ tercantum soal pembubaran PKI dan melarang komunisme, kata dia, larangan terhadap penyebaran ajaran-ajaran komunisme, Leninisme, dan Marxisme.
Selain itu, ada satu peraturan yang dijadikan dasar untuk menindak pelaku penyebar ajaran tersebut, yakni Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1996 tentang Perubahan Pasal 107 KUHP.
Dalam UU tersebut, Badrodin melanjutkan, ada penambahan pada Pasal 107 KUHP, yakni pemerintah melarang kegiatan penyebaran atau pengembangan paham komunisme, Leninisme, dan Marxisme dalam berbagai bentuk.
Menurut Kepala BIN Sutiyoso, keempat pemimpin lembaga berbagi tugas
menurut kewenangan masing-masing. BIN bertugas mengumpulkan informasi,
sedangkan yang melakukan proses hukum adalah polisi, yang akan
meneruskan penyelidikan kasusnya ke kejaksaan untuk diproses sampai ke
pengadilan. Adapun TNI, yang memiliki jangkauan institusi sampai ke
tingkat bintara pembina desa (babinsa), diminta ikut membantu.
Memang, dalam Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1996 terdapat beberapa pasal yang menggambarkan kondisi politik pada masa itu.
Pertama, “Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau
mengembangkan paham atau ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme dalam
segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur
serta media bagi penyebaran atau pengembangan paham atau ajaran
tersebut, dilarang.”
Pasal 3 menjelaskan, "Khususnya mengenai
kegiatan mempelajari secara ilmiah, seperti pada
universitas-universitas, paham komunisme/Marxisme-Leninisme dalam rangka
mengamankan Pancasila, dapat dilakukan secara terpimpin, dengan
ketentuan, bahwa pemerintah dan DPR-GR diharuskan mengadakan
perundang-undangan untuk pengamanan.”
Putusan itu ditetapkan
dalam Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada 5
Juli 1966. Pemimpin MPRS yang mengesahkan adalah Jenderal A.H. Nasution
(ketua) dan wakil ketua Osa Maliki, M. Siregar, Subchan Z.E., dan
Mashudi.
Dua bulan setelah keluar ketetapan itu, Presiden
Soekarno berpidato di hadapan Delegasi Angkatan '45 di Istana Merdeka,
Jakarta, pada 6 September 1966.
Menurut Soekarno, seperti dikutip dari buku Revolusi Belum Selesai, komunisme, Marxisme, sosialisme, atau dengan nama apa pun timbul karena sociale verhoundingen
atau keadaan sosial-ekonomi yang jelek. "Karena itulah saya anjurkan
lebih dulu kepada anggota-anggota MPRS, kalau engkau mengambil keputusan
sekadar melarang Marxisme, Leninisme, komunisme, saya akan ketawa,"
ujarnya.
Presiden Soekarno berpendapat, tindakan yang dilarang
adalah yang merugikan rakyat dan negara. "Apa yang bisa engkau larang
ialah kegiatan daripada Marxisme atau Komunisme atau Islamisme yang
merugikan negara," katanya.
Bung Karno pun menjelaskan bahwa
merombak kegiatan-kegiatan yang merugikan negara itu bisa dilakukan,
karena itulah dia mati-matian bertempur melawan Darul Islam. "Oleh
karena Darul Islam adalah kegiatan islamisme yang ngladrah. Bukan islamisme sejati, yang suci, yang baik, tapi yang ngladrah," ucap Sukarno.
No comments:
Post a Comment