Feb 7, 2009

Kanker Serviks Dapat Dicegah

Kanker serviks paling sering terjadi pada perempuan di Tanah Air. Sayangnya banyak penderita datang berobat pada stadium lanjut sehingga hasil terapi tidak optimal, bahkan menyebabkan kematian. Padahal, penyakit ini bisa dicegah sejak dini.

”Tingginya angka kejadian kanker serviks di Indonesia menimbulkan beban kesehatan, ekonomi, dan sosial yang berat bagi kaum perempuan,” kata Ketua Bidang Pelayanan Sosial Yayasan Kanker Indonesia dr Melissa S Luwia dalam seminar mengenai kanker serviks, Rabu (21/1) di Jakarta.

Ketua Perhimpunan Onkologi-Ginekologi Indonesia Prof Farid Aziz menjelaskan, kanker serviks bisa menyerang segala usia, termasuk usia lanjut. Bila terkena kanker serviks, beban biaya yang harus ditanggung pasien dan keluarganya tinggi, mulai dari prosedur diagnosis, perawatan, dan berkurangnya produktivitas.

Padahal, kanker serviks dapat dicegah dan biayanya jauh lebih murah daripada biaya perawatan. ”Namun, lebih dari 70 persen penderita datang memeriksakan diri pada stadium lanjut sehingga banyak menyebabkan kematian karena terlambat ditemukan dan diobati,” ujarnya.

Tak ada gejala spesifik

Pada stadium awal kanker serviks umumnya tidak ada gejala yang spesifik. Oleh karena itu, deteksi dini perlu dilakukan dengan tes Pap. Di negara-negara maju, penggunaan tes Pap menunjukkan hasil yang memuaskan dengan penurunan angka kematian karena kanker serviks lebih dari separuhnya.

”Sekitar 80 persen dari total pasien kanker serviks di negara maju dideteksi pada stadium satu dan dua,” kata Farid. Di negara berkembang, sekitar 80 persen dari total pasien kanker serviks baru terdeteksi dan diobati pada stadium tiga dan empat.

Ada beberapa kendala deteksi dini kanker serviks di negara berkembang, yaitu biaya pemeriksaan relatif mahal, kurangnya tenaga ahli dan pengorganisasian. Oleh karena itu, di negara berkembang cara pemeriksaan yang dipilih adalah inspeksi visual dengan asam asetat (IVA) sebagai pengganti tes Pap karena lebih murah dan praktis.

”Di Indonesia belum ada pemeriksaan kanker serviks yang dilakukan secara sistematis kepada seluruh lapisan masyarakat. Padahal, ini penting untuk deteksi dini terhadap jutaan perempuan yang berisiko terkena kanker serviks,” ujarnya menambahkan.

Vaksinasi

Ketua Pengurus Besar Perhimpunan Alergi-Imunologi Indonesia Prof Samsuridjal Djauzi memaparkan, penyebab utama kanker serviks adalah virus Human Papilloma Virus (HPV) tipe 16 dan 18. Tidak seperti beberapa virus lainnya, perempuan yang terinfeksi HPV bukan berarti kebal terhadap virus itu.

Jadi, perempuan yang terinfeksi HPV tetap berisiko terkena kanker serviks. Cara praktis mendapat proteksi terhadap infeksi atau infeksi berulang HPV penyebab kanker itu adalah vaksinasi karena cukup dengan suntikan, perlengkapan sederhana dan efektivitasnya tinggi.

”Idealnya, vaksin ini diberikan sebelum berhubungan seksual pertama, tetapi juga bisa diberikan kepada perempuan dewasa muda mulai usia 10 tahun,” kata Samsuridjal menambahkan.

Hasil studi klinis memperlihatkan, vaksinasi kanker serviks adjuvan secara lengkap atau tiga kali pemberian mampu merangsang pembentukan antibodi pada remaja putri dan wanita dewasa lebih cepat dan lama dibandingkan dengan vaksin sebelumnya. ”Vaksin ini memberi proteksi 100 persen pada HPV tipe 16 dan 18 hingga 6,4 tahun,” kata Samsuridjal.

Sayangnya, akses masyarakat terhadap vaksin kanker serviks minim. Hal ini disebabkan kurangnya informasi, terbatasnya penyedia pelayanan, dan mahalnya harga vaksin itu. Harga vaksin tersebut sekarang sudah turun dari Rp 1,4 juta menjadi sekitar Rp 700.000.