Feb 7, 2009

Menembus Bukit dengan Sekeranjang Ikan

Jumiyem (60) menenteng ember dan memanggul keranjang bambu di punggungnya yang terasa lebih ringan dibanding hari-hari kemarin. Jelang akhir tahun, nelayan di Pelabuhan Sadeng tidak melaut akibat musim angin barat. Terbayang di pelupuk mata Jumiyem, wajah kecewa dari penduduk empat dusun di Desa Songbanyu, Gunung Kidul, yang sudah menunggu untuk membeli secuil ikan dagangannya.

Telah lebih dari 30 tahun, Jumiyem menjadi tumpuan harapan bagi warga di pelosok perbukitan kapur yang hanya mengandalkan penjaja ikan keliling untuk memperoleh asupan gizi berupa ikan laut. Jalan desa yang belum diaspal dan jarak ke pasar yang cukup jauh menyebabkan warga hanya menunggu teriakan "ikan" yang biasanya terlontar dari mulut Jumiyem. Maklum, butuh hampir dua jam berjalan kaki dari desa untuk memperoleh ikan segar pelabuhan.

Jangan membayangkan ikan utuh jika membeli dari Jumiyem. Nenek dua cucu ini selalu memperoleh ikan sisa yang masih segar dari pedagang ikan yang memenangi lelang di Pelabuhan Sadeng. Ikan itu lalu diiris menjadi potongan kecil yang dijual dalam bungkusan daun jati. Satu bungkusan daun jati berikat tali pelepah pisang itu berisi empat iris ikan yang dijual Rp 4.000. Beberapa konsumen hanya membeli satu iris, itu pun sering kali dengan cara berutang. Karena tak memperoleh satu potong ikan pun sebagai bahan dagangan, Jumiyem hanya tertunduk lesu di salah satu sudut pelabuhan. Bekal yang dibawanya di dalam keranjang bambu berupa nasi putih dan tiwul berlauk daun pepaya rebus masih tak disentuh hingga lewat jam makan siang. "Kasihan pelanggan saya. Mereka pasti sudah berharap bisa memperoleh lauk ikan segar," tuturnya sembari tetap berharap ada nelayan membongkar muatan.

Puncak musim

Ketika memasuki puncak musim, biasanya Jumiyem bisa memperoleh 15 kilogram ikan yang dibelinya seharga Rp 70.000. Setelah dipotong- potong dan dijajakan dengan mendaki dan menuruni bukit kapur, Jumiyem bisa memperoleh penghasilan Rp 80.000. Dengan keuntungan maksimal Rp 10.000 per hari itu, Jumiyem dapat membiayai pendidikan tiga anaknya hingga lulus sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas.

Setiap hari, Jumiyem berangkat dari rumahnya di Dusun Gesik, Songbanyu, pukul 06.30. Dia sempat mampir untuk membantu suaminya mengurus ladang tadah hujan yang kini mulai ditanami padi gogo, kacang tanah, dan jagung. Setelah seharian menanti dagangan ikan di pelabuhan, ibu tiga anak ini kembali ke rumah pukul 15.00 sambil menjajakan ikan dan mencari rumput makanan ternak di sepanjang perjalanan pulang. Jenis ikan yang dijajakan ke Dusun Selang, Joho, Putat, dan Gesik tersebut, antara lain ikan tumbul, lendra, tongkol, dan kabangan. Berlindung dari terik Matahari dengan mengenakan caping, tak secuil ikan pun yang tersisa untuk dibawa pulang. Minat masyarakat pedesaan untuk mengonsumsi ikan laut ternyata cukup tinggi. Tak heran, kehadiran Jumiyem selalu dinanti. Selepas anak-anaknya lulus sekolah dan berkeluarga, Jumiyem mengaku bisa mulai menabung untuk kebutuhan mendadak keluarganya. Dengan menabung di kumpulan pengajian di desa, ia kini telah mampu menyisihkan uang Rp 300.000. Meski tidak berjumlah besar, uang itu cukup berarti karena berhasil dikumpulkan setelah puluhan tahun bekerja.

Jumiyem pun tak sendirian sebagai "duta" memopulerkan ikan laut dari Pelabuhan Sadeng ke berbagai pelosok desa. Tiga orang rekannya, yaitu Parinem, Sakinem, dan Kaniyem turut berjualan ikan ke dusun- dusun lain. Namun, mayoritas pedagang ikan dari Pelabuhan Sadeng memilih berjualan di pasar-pasar yang hanya buka pada hari pasaran yang disesuaikan dengan kalender Jawa. Namun, Jumiyem, Parinem, Sakinem, dan Kaniyem, dengan kaki-kaki mereka yang mulai renta, tetap tegar menembus bukit-bukit kapur dengan sekeranjang ikan. Tentu untuk masyarakat perbukitan yang mendambakan asupan gizi....