Detik.com - Gara-gara film amatir "Innocence of Muslims" yang dibuat di Amerika Serikat, aksi protes anti-AS marak di negara-negara muslim. Namun pemerintah AS tak berdaya untuk menindak para pembuat film tersebut. Ini dikarenakan adanya ketentuan tentang kebebasan yang dilindungi dalam konstitusi negara AS yang telah ada sejak lama.
"Saya tahu sulit bagi sebagian orang untuk memahami bahwa AS tak bisa atau tidak begitu saja mencegah video tercela seperti ini muncul ke permukaan," kata Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton.
"Sekarang, saya perlu tekankan bahwa di dunia saat ini dengan teknologi terkini, hal itu mustahil. Bahkan kalaupun mungkin, negara kami punya tradisi panjang kebebasan berekspresi yang dilindungi dalam konstitusi dan hukum kami, dan kami tidak bisa menghentikan setiap warga negara yang mengekspresikan pandangan mereka sekalipun itu tidak disukai," tegas mantan ibu negara AS tersebut.
Hillary seperti dilansir kantor berita AFP, Jumat (14/9/2012) pun menegaskan bahwa setiap aksi kekerasan tak bisa dibenarkan.
"Tentu ada pandangan yang berbeda-beda di seluruh dunia tentang batasan kebebasan berbicara dan kebebasan berekspresi. Tapi seharusnya tidak perlu diperdebatkan bahwa penggunaan kekerasan untuk menanggapi kebebasan tersebut memang tidak bisa diterima," tandas istri mantan Presiden AS Bill Clinton ini.
Departemen Kehakiman AS menolak untuk menjelaskan langkah-langkah apa yang bisa diambil untuk menghukum para pembuat film amatir yang menghina Islam dan Nabi Muhammad tersebut. Namun menurut para pakar, tak ada yang bisa dilakukan otoritas AS untuk melarang warga menerapkan hak-hak konstitusional mereka.
"Pemerintah AS tak berdaya dalam artian bahwa konstitusi mengizinkan warga Amerika berbicara seperti ini tanpa takut dipenjara hanya karena sebagian orang menganggapnya menghina agama," cetus Profesor Eugene Volokh, pakar hukum kebebasan berbicara.
Amandemen Pertama konsitusi AS menyebutkan bahwa: "Kongres tak bisa membuat aturan hukum... yang membatasi kebebasan berbicara."
Film amatir tersebut telah memicu serangan mematikan ke gedung konsulat AS di Benghazi, Libya pada Selasa, 11 September lalu yang menewaskan Dubes AS Chris Stevens dan tiga warga AS lainnya. Film itu juga menimbulkan aksi-aksi demo anti-AS di sejumlah negara muslim seperti Yaman, Mesir, Maroko, Sudan, Tunisia dan Iran.
"Saya tahu sulit bagi sebagian orang untuk memahami bahwa AS tak bisa atau tidak begitu saja mencegah video tercela seperti ini muncul ke permukaan," kata Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton.
"Sekarang, saya perlu tekankan bahwa di dunia saat ini dengan teknologi terkini, hal itu mustahil. Bahkan kalaupun mungkin, negara kami punya tradisi panjang kebebasan berekspresi yang dilindungi dalam konstitusi dan hukum kami, dan kami tidak bisa menghentikan setiap warga negara yang mengekspresikan pandangan mereka sekalipun itu tidak disukai," tegas mantan ibu negara AS tersebut.
Hillary seperti dilansir kantor berita AFP, Jumat (14/9/2012) pun menegaskan bahwa setiap aksi kekerasan tak bisa dibenarkan.
"Tentu ada pandangan yang berbeda-beda di seluruh dunia tentang batasan kebebasan berbicara dan kebebasan berekspresi. Tapi seharusnya tidak perlu diperdebatkan bahwa penggunaan kekerasan untuk menanggapi kebebasan tersebut memang tidak bisa diterima," tandas istri mantan Presiden AS Bill Clinton ini.
Departemen Kehakiman AS menolak untuk menjelaskan langkah-langkah apa yang bisa diambil untuk menghukum para pembuat film amatir yang menghina Islam dan Nabi Muhammad tersebut. Namun menurut para pakar, tak ada yang bisa dilakukan otoritas AS untuk melarang warga menerapkan hak-hak konstitusional mereka.
"Pemerintah AS tak berdaya dalam artian bahwa konstitusi mengizinkan warga Amerika berbicara seperti ini tanpa takut dipenjara hanya karena sebagian orang menganggapnya menghina agama," cetus Profesor Eugene Volokh, pakar hukum kebebasan berbicara.
Amandemen Pertama konsitusi AS menyebutkan bahwa: "Kongres tak bisa membuat aturan hukum... yang membatasi kebebasan berbicara."
Film amatir tersebut telah memicu serangan mematikan ke gedung konsulat AS di Benghazi, Libya pada Selasa, 11 September lalu yang menewaskan Dubes AS Chris Stevens dan tiga warga AS lainnya. Film itu juga menimbulkan aksi-aksi demo anti-AS di sejumlah negara muslim seperti Yaman, Mesir, Maroko, Sudan, Tunisia dan Iran.
No comments:
Post a Comment