Kompas.com - Kesulitan ekonomi tak menyurutkan semangat Indah Sari (17) dan dua adiknya mengenyam pendidikan. Demi menutupi biaya sekolah, mereka bekerja sebagai buruh plasma bulu mata palsu. Kisah pilu di Hari Pendidikan Nasional!
Terik matahari menyengat kepala ketika Indah dan kedua adiknya berseragam putih-biru menyusuri jalan setapak di Dusun Batur, Desa Penusupan, Purbalingga (70 kilometer timur laut Purwokerto), Jawa Tengah. Mereka baru saja pulang sekolah.
Indah duduk di kelas IX SMPN 4 Rembang. Sementara kedua adiknya, Supriyani Astuti (15) dan Juliah (13), duduk di kelas VII sekolah yang sama.
Sesampai di bilik bambu berukuran 5 x 6 meter, ketiga sosok perempuan itu segera mengambil peralatan merangkai bulu mata palsu.
”Saya sekolah sambil bekerja bikin idep (bulu mata) sejak lima tahun lalu. Adik-adik juga akhirnya ikut membantu supaya ada uang untuk makan,” tutur Indah, Selasa (30/4/2013) siang, sambil memilin rambut di kawat yang dipasang di papan kayu untuk kemudian dirajut jadi bulu mata palsu.
Upah dari aktivitas itu tak hanya untuk menghidupi Indah dan kedua adiknya. Di rumah itu juga tinggal ibu mereka, Tarmini (40), dan adik bungsu, Sayang (5).
Beban mereka kian berat karena Tarmini mengalami gangguan mental sejak kelahiran anak terakhirnya akibat kondisi ekonomi. Perempuan itu tak pernah lagi berbicara kepada orang lain, termasuk anak-anaknya. Setiap hari, ia lebih sering menatap kosong keluar atau tidur di dipan.
Depresi kian mengimpit saat Warsito, ayah Indah yang sakit-sakitan, akhirnya meninggal akhir tahun 2012. Warsito yang semasa hidup menjadi juru kunci Petilasan Bukit Ardi Lawet ini menderita komplikasi sejumlah penyakit dalam.
Menjadi buruh
Tanto Purnomo (23), si sulung, lima tahun terakhir ini bekerja di sebuah bengkel di Samarinda, Kalimantan Timur. ”Mas Tanto tiap bulan kirim uang sekitar Rp 300.000, tetapi semuanya terpakai untuk bayar utang lama biaya berobat Bapak,” tutur Indah.
Saat ini, mereka masih berutang Rp 3 juta kepada pihak pemerintahan desa untuk sewa tanah bengkok tempat rumah mereka berdiri.
Kendati sebagian penduduk di Dusun Batur bekerja sebagai petani, kondisi keluarga Indah sangat memprihatinkan. Bilik bambu tempat mereka berteduh hanya berlantai tanah yang sangat lembab. Kamar mandi tidak ada. Penghuninya setiap hari mandi di sungai. Jika genteng rumah bocor, Indah dan ketiga adiknya hanya bertahan di sudut dipan sambil berpelukan, menghangatkan tubuh.
Keterbatasan ekonomi pula yang membuat Indah dan Supriyani beberapa kali putus sekolah. Namun, semangat belajar Indah dan kedua adiknya tak surut. ”Kalau bikin bulu mata, tidak perlu keluar rumah. Bahan-bahannya sudah dikasih. Nanti, dua hari sekali disetor ke pengepul di dekat sini juga,” ujar Indah.
Indah mengaku ikut bekerja di plasma bulu mata palsu karena diajak tetangganya yang prihatin terhadap kondisi keluarga itu. Di desa tersebut, sejumlah ibu rumah tangga menambah penghasilan dengan membuat bulu mata palsu. Produk itu kemudian dikumpulkan untuk dikirim ke pabrik-pabrik bulu mata palsu yang banyak berdiri di Purbalingga.
Setiap pasang bulu mata palsu dihargai Rp 170. Setiap bulannya, Indah dan dua adiknya bisa mendapatkan Rp 150.000 dari hasil membuat bulu mata palsu. Meski lebih sering habis untuk makan, Indah beberapa kali menyisihkan hasil kerjanya untuk tabungan sekolah.
Namun, dengan bekerja, bukan berarti Indah melupakan tanggung jawabnya sebagai pelajar. Ia dan adik-adiknya membatasi pekerjaan membuat bulu mata palsu hingga jelang magrib. Selepas itu, mereka belajar hingga larut malam.
Berprestasi
Dengan keterbatasan uang, asupan gizi ketiga pelajar ini sangat tidak memadai. Mereka bahkan tidak pernah sarapan sebelum sekolah. ”Seringnya hanya makan sekali. Paling nasi dengan sayur singkong, ” ujar Supriyani yang bercita-cita menjadi atlet tenis meja.
Walau begitu, mereka tetap berprestasi. Indah yang bercita-cita menjadi atlet bulu tangkis, misalnya, sejak awal SMP selalu menduduki peringkat 10 besar di kelas. Juliah bahkan meraih peringkat kelima di kelasnya, sementara Supriyani memiliki prestasi di bidang olahraga dan pernah mendapat beasiswa karena juara II tenis meja tingkat kabupaten.
Indah mengaku ingin melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah kejuruan (SMK) mengambil jurusan akuntansi. Namun, dia kembali menghadapi dilema karena lokasi SMK terdekat berada di Kecamatan Bobotsari, 25 kilometer jauhnya dari rumah.
”Apalagi, nanti, SMK sudah harus bayar. Saya juga takut susah mengatur waktu belajar dan kerja,” kata Indah.
Guru Bimbingan Konseling SMPN 4 Rembang, Sri Supriyatiningsih, kagum dengan semangat belajar ketiga siswinya itu.
Bagian Perekonomian Sekretariat Daerah Purbalingga mencatat, tenaga kerja yang tertampung pada ratusan plasma industri wig dan bulu mata palsu mencapai 26.000 orang. Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Purbalingga Supono tak menampik bahwa sebagian di antara mereka adalah anak usia sekolah.
Terkait banyaknya siswa putus sekolah di Purbalingga karena menjadi buruh, Ketua Dewan Pendidikan Purbalingga Sudino khawatir hal itu menjadi bom waktu. Bupati Purbalingga Heru Sudjatmoko memastikan Indah dan adik-adiknya mendapatkan bantuan siswa miskin (BSM) agar mereka paling tidak bisa menuntaskan pendidikan dasar.