Kompas.com - ROTI jadul tidak lekang oleh waktu. Sebutlah nama Tan Ek Tjoan. Roti yang diproduksi sejak 1953 ini tetap memiliki tempat di hati penggemarnya. Cita rasa yang khas tidak tergantikan oleh roti modern. Di dalam sepotong roti juga tercampur berbagai proses sejarah perjalanan Kota Jakarta.
Toko jadul Tan Ek Tjoan terletak di Jalan Cikini Raya Nomor 61, Jakarta Pusat. Satu cabang lain dibuka di Jalan Panglima Polim, Jakarta Selatan. Meskipun pendiri Tan Ek Tjoan di Cikini masih bersaudara dengan Tan Ek Tjoan di Bogor, kedua toko roti itu memiliki manajemen terpisah.
Kepala Produksi Tan Ek Tjoan Tobiin mengatakan, bangunan toko di Cikini Raya semula adalah kantor asuransi. Di belakang kantor asuransi adalah rumah Kim Tamara, pendiri Tan Ek Tjoan.
Setelah kantor asuransi dibeli, Kim menjadikan bangunan itu sebagai gerai toko pada 1953. Sementara pabrik roti menggunakan bangunan lama rumah Kim. Kim tinggal di lantai 2 toko roti. Dengan begitu, dia sangat mudah mengawasi seluruh proses pembuatan hingga penjualan Tan Ek Tjoan.
Menjual roti dipilih oleh Kim karena pada masa itu roti sedang beken. Sementara produsennya beberapa saja. Tan Ek Tjoan ikut memopulerkan roti di kalangan masyarakat Jakarta, termasuk dengan mengerahkan tukang roti keliling yang mendatangi rumah-rumah pembeli.
Pada masa itu, Jalan Cikini Raya merupakan salah satu pusat kota. Letaknya tidak jauh dari permukiman elite Menteng.
Dengan toko dan pabrik yang berdiri di atas tanah seluas 2.800 meter persegi, Tan Ek Tjoan menyediakan bangku dan meja untuk pembeli yang ingin menikmati roti di tempat.
Kini, toko Tan Ek Tjoan tidak lagi menyediakan ruang makan di tempat. Ruang toko bercat putih ini hanya digunakan separuhnya saja, sementara separuh lainnya dibiarkan kosong. Pembeli kini hanya bisa menikmati memori zaman dulu toko ini secara singkat sembari memilih roti. ”Biayanya tidak nutup kalau tempat makan-minum masih dipertahankan,” kata Tobiin.
Ciri khas
Beberapa roti manis masih dipertahankan sebagai ciri khas Tan Ek Tjoan. Sebut saja roti gambang, roti cokelat oles, roti nougat, bimbam, dan solo. Roti-roti ciri khas ini menjadi ”roti wajib” baik di toko ataupun di pedagang keliling.
”Kami mencoba mengembalikan cita rasa roti khas Tan Ek Tjoan dengan mendengarkan masukan dari penggemar setia roti ini. Mereka sangat sadar kalau ada perubahan rasa di roti,” ujar Tobiin.
Tan Ek Tjoan juga kerap menerima pesanan roti. Salah satunya roti buaya dengan panjang 1 meter.
”Roti ini identik dengan roti untuk pernikahan Betawi, tetapi ada juga orang dari daerah lain yang memesan roti ini,” kata Tobiin.
Saban hari, ada juga roti buaya mini isi cokelat yang dijual hanya di toko Tan Ek Tjoan.
Roti-roti khas ini membuat Tan Ek Tjoan bertahan. Padahal, dalam radius 50 meter di sekitar toko, terdapat beberapa toko kue dan roti modern. Belum lagi deretan warung kopi yang turut menyediakan menu roti sebagai pendamping.
Merawat memori
Aju (60) merupakan salah satu penikmat Tan Ek Tjoan. Warga Cempaka Putih ini setiap minggu datang ke Cikini guna memuaskan kerinduan atas roti favoritnya, yakni roti tawar dan roti cokelat oles. ”Sejak orangtua saya, Tan Ek Tjoan jadi langganan. Pasti makan roti ini, enggak yang lain,” ujarnya.
Toko jadul Tan Ek Tjoan terletak di Jalan Cikini Raya Nomor 61, Jakarta Pusat. Satu cabang lain dibuka di Jalan Panglima Polim, Jakarta Selatan. Meskipun pendiri Tan Ek Tjoan di Cikini masih bersaudara dengan Tan Ek Tjoan di Bogor, kedua toko roti itu memiliki manajemen terpisah.
Kepala Produksi Tan Ek Tjoan Tobiin mengatakan, bangunan toko di Cikini Raya semula adalah kantor asuransi. Di belakang kantor asuransi adalah rumah Kim Tamara, pendiri Tan Ek Tjoan.
Setelah kantor asuransi dibeli, Kim menjadikan bangunan itu sebagai gerai toko pada 1953. Sementara pabrik roti menggunakan bangunan lama rumah Kim. Kim tinggal di lantai 2 toko roti. Dengan begitu, dia sangat mudah mengawasi seluruh proses pembuatan hingga penjualan Tan Ek Tjoan.
Menjual roti dipilih oleh Kim karena pada masa itu roti sedang beken. Sementara produsennya beberapa saja. Tan Ek Tjoan ikut memopulerkan roti di kalangan masyarakat Jakarta, termasuk dengan mengerahkan tukang roti keliling yang mendatangi rumah-rumah pembeli.
Pada masa itu, Jalan Cikini Raya merupakan salah satu pusat kota. Letaknya tidak jauh dari permukiman elite Menteng.
Dengan toko dan pabrik yang berdiri di atas tanah seluas 2.800 meter persegi, Tan Ek Tjoan menyediakan bangku dan meja untuk pembeli yang ingin menikmati roti di tempat.
Kini, toko Tan Ek Tjoan tidak lagi menyediakan ruang makan di tempat. Ruang toko bercat putih ini hanya digunakan separuhnya saja, sementara separuh lainnya dibiarkan kosong. Pembeli kini hanya bisa menikmati memori zaman dulu toko ini secara singkat sembari memilih roti. ”Biayanya tidak nutup kalau tempat makan-minum masih dipertahankan,” kata Tobiin.
Ciri khas
Beberapa roti manis masih dipertahankan sebagai ciri khas Tan Ek Tjoan. Sebut saja roti gambang, roti cokelat oles, roti nougat, bimbam, dan solo. Roti-roti ciri khas ini menjadi ”roti wajib” baik di toko ataupun di pedagang keliling.
”Kami mencoba mengembalikan cita rasa roti khas Tan Ek Tjoan dengan mendengarkan masukan dari penggemar setia roti ini. Mereka sangat sadar kalau ada perubahan rasa di roti,” ujar Tobiin.
Tan Ek Tjoan juga kerap menerima pesanan roti. Salah satunya roti buaya dengan panjang 1 meter.
”Roti ini identik dengan roti untuk pernikahan Betawi, tetapi ada juga orang dari daerah lain yang memesan roti ini,” kata Tobiin.
Saban hari, ada juga roti buaya mini isi cokelat yang dijual hanya di toko Tan Ek Tjoan.
Roti-roti khas ini membuat Tan Ek Tjoan bertahan. Padahal, dalam radius 50 meter di sekitar toko, terdapat beberapa toko kue dan roti modern. Belum lagi deretan warung kopi yang turut menyediakan menu roti sebagai pendamping.
Merawat memori
Aju (60) merupakan salah satu penikmat Tan Ek Tjoan. Warga Cempaka Putih ini setiap minggu datang ke Cikini guna memuaskan kerinduan atas roti favoritnya, yakni roti tawar dan roti cokelat oles. ”Sejak orangtua saya, Tan Ek Tjoan jadi langganan. Pasti makan roti ini, enggak yang lain,” ujarnya.
Menurut dia, Tan Ek Tjoan tetap roti jadul yang padat, tidak seperti roti modern yang sering kali kempes jika digigit.
Hal serupa disampaikan Sani (35). Warga Sunter ini juga menyambangi Tan Ek Tjoan untuk mendapatkan roti cokelat oles kesukaannya. ”Setiap Sabtu, pasti ke sini,” katanya.
Tobiin mengatakan, adonan dasar setiap potong roti Tan Ek Tjoan dipertahankan 90 gram atau lebih banyak dibandingkan rata-rata adonan roti modern, yakni 40-50 gram. ”Jadinya pori-pori roti lebih rapat,” katanya.
Ada pula penggemar yang khawatir dengan nasib toko ini. ”Kalau tidak berubah, mungkin Tan Ek Tjoan bisa hilang karena kalah dengan toko kue lain,” kata Wulan, warga Cijantung.
Sayangnya, toko ini berpeluang tutup karena ada rencana pembangunan apartemen di kawasan ini. ”Tanah di sekitar toko sudah dibeli pengembang. Termasuk juga toko ini. Kami segera memindahkan pabrik pembuatan roti ke Ciputat. Toko juga mungkin pindah, tetapi di sekitar sini,” kata Tobiin.
Meskipun bangunan toko sudah berdiri sejak 1920-an, hingga kini belum berstatus benda bersejarah yang harus dilestarikan.
Akibatnya, peluang untuk mengalihfungsikan bangunan ini sangat terbuka lebar. Kalau ini terjadi, sepotong memori dinamika Kota Jakarta pun sirna.
Hal serupa disampaikan Sani (35). Warga Sunter ini juga menyambangi Tan Ek Tjoan untuk mendapatkan roti cokelat oles kesukaannya. ”Setiap Sabtu, pasti ke sini,” katanya.
Tobiin mengatakan, adonan dasar setiap potong roti Tan Ek Tjoan dipertahankan 90 gram atau lebih banyak dibandingkan rata-rata adonan roti modern, yakni 40-50 gram. ”Jadinya pori-pori roti lebih rapat,” katanya.
Ada pula penggemar yang khawatir dengan nasib toko ini. ”Kalau tidak berubah, mungkin Tan Ek Tjoan bisa hilang karena kalah dengan toko kue lain,” kata Wulan, warga Cijantung.
Sayangnya, toko ini berpeluang tutup karena ada rencana pembangunan apartemen di kawasan ini. ”Tanah di sekitar toko sudah dibeli pengembang. Termasuk juga toko ini. Kami segera memindahkan pabrik pembuatan roti ke Ciputat. Toko juga mungkin pindah, tetapi di sekitar sini,” kata Tobiin.
Meskipun bangunan toko sudah berdiri sejak 1920-an, hingga kini belum berstatus benda bersejarah yang harus dilestarikan.
Akibatnya, peluang untuk mengalihfungsikan bangunan ini sangat terbuka lebar. Kalau ini terjadi, sepotong memori dinamika Kota Jakarta pun sirna.
No comments:
Post a Comment