Kompas.com - Misteri keberadaan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) masih belum terpecahkan. Lima puluh tahun berlalu, 11 Maret 2016, sejak Presiden Soekarno mengeluarkannya pada 11 Maret 1966.
Tidak ada yang dapat memastikan apakah Supersemar hanya perintah untuk menjaga stabilitas keamanan negara, atau justru dijadikan alat kudeta?
Tiga naskah Supersemar yang disimpan dalam brankas antiapi milik Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), di Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan, dipastikan tidak autentik alias palsu.
Kepastian bahwa naskah itu palsu diperoleh setelah dilakukan uji forensik di Laboratorium Polri pada 2012 silam.
Kisah perburuan naskah asli Supersemar
Mantan Kepala ANRI, M. Asichin, mengatakan, pencarian naskah autentik Supersemar mulai gencar dilakukan pada tahun 2000.
Pada 7 Maret 2000, Kepala ANRI saat itu, menemui Sekretaris Jenderal MPR RI, Umar Basalim.
"Sebab, menurut informasi saat itu, naskah Supersemar telah diserahkan Amir Machmud (salah satu perwira tinggi saksi kunci penandatanganan Supersemar) kepada Ketua MPRS tahun 1966 yang selanjutnya digunakan sebagai dasar penetapan TAP MPRS tentang pengangkatan Jenderal Soeharto sebagai pejabat Presiden RI," ujar Asichin, saat ditemui Kompas.com, beberapa hari lalu.
Namun,naskah Supersemar tidak ada pada Umar atau pada bank data MPR RI.
Gagal periksa Soeharto
Pada 8-10 Maret 2000, ANRI berturut-turut mewawancarai Sekretaris Negara Bondan Gunawan, mantan Ketua MPRS Abdul Haris Nasution, Ketua DPR RI Akbar Tanjung hingga Jenderal (purn) Faisal Tanjung.
Bahkan pada 10 Maret itu, ANRI mengirimkan surat kepada DPR RI, meminta wakil rakyat untuk memanggil H.M. Soeharto dan Jenderal (Purn) M. Jusuf untuk memberikan penjelasan mengenai keberadaan Supersemar.
Namun, karena alasan kesehatan, keduanya tidak kunjung datang untuk memberikan keterangan.
Sementara, dari pihak Soekarno, ANRI telah mewawancarai salah seorang putrinya pada 26 April 2007, yakni Sukmawati Soekarnoputri.
Sukmawati mengaku tengah berada di Bandung saat penandatanganan Supersemar, sehingga ia tidak mengetahui persis kejadian itu.
Tidak ada yang dapat memastikan apakah Supersemar hanya perintah untuk menjaga stabilitas keamanan negara, atau justru dijadikan alat kudeta?
Tiga naskah Supersemar yang disimpan dalam brankas antiapi milik Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), di Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan, dipastikan tidak autentik alias palsu.
Kepastian bahwa naskah itu palsu diperoleh setelah dilakukan uji forensik di Laboratorium Polri pada 2012 silam.
Kisah perburuan naskah asli Supersemar
Mantan Kepala ANRI, M. Asichin, mengatakan, pencarian naskah autentik Supersemar mulai gencar dilakukan pada tahun 2000.
Pada 7 Maret 2000, Kepala ANRI saat itu, menemui Sekretaris Jenderal MPR RI, Umar Basalim.
"Sebab, menurut informasi saat itu, naskah Supersemar telah diserahkan Amir Machmud (salah satu perwira tinggi saksi kunci penandatanganan Supersemar) kepada Ketua MPRS tahun 1966 yang selanjutnya digunakan sebagai dasar penetapan TAP MPRS tentang pengangkatan Jenderal Soeharto sebagai pejabat Presiden RI," ujar Asichin, saat ditemui Kompas.com, beberapa hari lalu.
Namun,naskah Supersemar tidak ada pada Umar atau pada bank data MPR RI.
Gagal periksa Soeharto
Pada 8-10 Maret 2000, ANRI berturut-turut mewawancarai Sekretaris Negara Bondan Gunawan, mantan Ketua MPRS Abdul Haris Nasution, Ketua DPR RI Akbar Tanjung hingga Jenderal (purn) Faisal Tanjung.
Bahkan pada 10 Maret itu, ANRI mengirimkan surat kepada DPR RI, meminta wakil rakyat untuk memanggil H.M. Soeharto dan Jenderal (Purn) M. Jusuf untuk memberikan penjelasan mengenai keberadaan Supersemar.
Namun, karena alasan kesehatan, keduanya tidak kunjung datang untuk memberikan keterangan.
Sementara, dari pihak Soekarno, ANRI telah mewawancarai salah seorang putrinya pada 26 April 2007, yakni Sukmawati Soekarnoputri.
Sukmawati mengaku tengah berada di Bandung saat penandatanganan Supersemar, sehingga ia tidak mengetahui persis kejadian itu.
Bentuk tim khusus
Tahun 2001, ANRI membentuk Tim Khusus Penelusuran Arsip Supersemar. Tugasnya, melakukan pendekatan personal kepada orang-orang yang diduga mengetahui keberadaan naskah Supersemar.
"Yang kami wawancarai saat itu ada Soekardjo Wilardjito, mantan pengawal Istana Bogor ; Abdul Kadir Besar, mantan Sekum MPRS ; Mursalin Daeng Mamanggung, mantan Anggota DPRGR utusan AL dan Yatijan mantan Menteri Maritim. Namun semuanya tidak tau keberadaan surat itu," ujar Asichin.
Tim serupa juga pernah dibentuk pada 2003. Tugasnya juga sama.
Tim sampai 'mengubek-ubek' kantor arsip Sekretariat Negara dan Sekretariat Kabinet. Namun, dokumen Supersemar belum juga ditemukan.
Titik terang
Pencarian terus dilanjutkan. Pada 2005, tepatnya 22 Juli, ANRI mewawancarai mantan Menteri Sekretariat Negara, Moerdiono.
Keterangan Moerdiono memberikan sedikit titik terang. Ia mengatakan, dari Kostrad, Soeharto menyerahkan Supersemar kepada Sekretariat Tata Usaha Staf AD.
Surat itu sempat hendak difotokopi namun dilarang.
Oleh sebab itu, surat sempat bolak-balik antara Kostrad dengan Istana Negara. Namun, pada akhirnya surat itu dikirim ke Merdeka Barat.
"Di Merdeka Barat, Beliau (Moerdiono) menggunakan Supersemar itu sebagai dasar hukum pembubaran PKI. Pak Moerdiono menyatakan Supersemar memang ada, namun tidak menyimpan arsipnya," ujar Asichin.
Titik terang kembali muncul pada 2012, saat seorang seorang aktivis, Nurinwa Ki S. Hendrowinoto menyerahkan selembar arsip Supersemar yang ditemukannya di dinding area petilasan Trowulan, Kerajaan Majapahit, Jawa Timur.
Namun, hasil uji laboratorium forensik kembali meredupkan harapan terkait autentifikasi dokumen itu.
Tidak berhenti
Kepala ANRI Mustari Irawan mengatakan, tahun 2013, sempat ada anggota DPR RI yang mengaku memegang surat asli Supersemar.
Namun, setelah dikonfirmasi, surat itu adalah kertas fotokopian alias bukan dokumen autentik.
Tahun 2015, Mustari kembali menerima informasi bahwa naskah asli Supersemar ada pada anak putri Moerdiono.
Setelah dilakukan konfirmasi, tak diketahui keberadaan surat itu.
Dia memastikan, perburuan naskah autentik Supersemar tidak berhenti.
ANRI memiliki program penyelamatan arsip negara skala besar dan masih akan mewawancarai sejumlah pihak yang terkait peristiwa tersebut.
"Kami punya daftar nama yang akan kami wawancarai. Kami juga punya program untuk penyelamatan arsip di lembaga tinggi negara," ujar Mustari.
Setidaknya, ada tiga hal yang membuat Supersemar menjadi penting untuk didapat. Pertama, bentuk fisik.
"Supersemar ini satu atau dua lembar sih? Kalau satu lembar seperti apa? Kalau dua lembar juga seperti apa?" ujar Mustari.
Kedua, dari sisi konten. Publik harus mengetahui apa isi surat tersebut.
Ketiga, dari sisi konteks. Dokumen autentik Supersemar akan menjawab berbagai versi cerita tentang Supersemar.
"Jika ada yang asli, semuanya bisa terjawab kan. Dalam konteks momen tertentu yang terkait sejarah perjalanan bangsa Indonesia," ujar dia.
"Dokumen atau arsip negara merupakan bagian dari sejarah bangsa. Kalau kita tidak tau masa lalu, bagaimana kita bicara ke depan? Makanya kami terus cari. Kami harap suatu hari kami akan dapat yang kami inginkan," lanjut dia.
"Yang kami wawancarai saat itu ada Soekardjo Wilardjito, mantan pengawal Istana Bogor ; Abdul Kadir Besar, mantan Sekum MPRS ; Mursalin Daeng Mamanggung, mantan Anggota DPRGR utusan AL dan Yatijan mantan Menteri Maritim. Namun semuanya tidak tau keberadaan surat itu," ujar Asichin.
Tim serupa juga pernah dibentuk pada 2003. Tugasnya juga sama.
Tim sampai 'mengubek-ubek' kantor arsip Sekretariat Negara dan Sekretariat Kabinet. Namun, dokumen Supersemar belum juga ditemukan.
Titik terang
Pencarian terus dilanjutkan. Pada 2005, tepatnya 22 Juli, ANRI mewawancarai mantan Menteri Sekretariat Negara, Moerdiono.
Keterangan Moerdiono memberikan sedikit titik terang. Ia mengatakan, dari Kostrad, Soeharto menyerahkan Supersemar kepada Sekretariat Tata Usaha Staf AD.
Surat itu sempat hendak difotokopi namun dilarang.
Oleh sebab itu, surat sempat bolak-balik antara Kostrad dengan Istana Negara. Namun, pada akhirnya surat itu dikirim ke Merdeka Barat.
"Di Merdeka Barat, Beliau (Moerdiono) menggunakan Supersemar itu sebagai dasar hukum pembubaran PKI. Pak Moerdiono menyatakan Supersemar memang ada, namun tidak menyimpan arsipnya," ujar Asichin.
Titik terang kembali muncul pada 2012, saat seorang seorang aktivis, Nurinwa Ki S. Hendrowinoto menyerahkan selembar arsip Supersemar yang ditemukannya di dinding area petilasan Trowulan, Kerajaan Majapahit, Jawa Timur.
Namun, hasil uji laboratorium forensik kembali meredupkan harapan terkait autentifikasi dokumen itu.
Tidak berhenti
Kepala ANRI Mustari Irawan mengatakan, tahun 2013, sempat ada anggota DPR RI yang mengaku memegang surat asli Supersemar.
Namun, setelah dikonfirmasi, surat itu adalah kertas fotokopian alias bukan dokumen autentik.
Tahun 2015, Mustari kembali menerima informasi bahwa naskah asli Supersemar ada pada anak putri Moerdiono.
Setelah dilakukan konfirmasi, tak diketahui keberadaan surat itu.
Dia memastikan, perburuan naskah autentik Supersemar tidak berhenti.
ANRI memiliki program penyelamatan arsip negara skala besar dan masih akan mewawancarai sejumlah pihak yang terkait peristiwa tersebut.
"Kami punya daftar nama yang akan kami wawancarai. Kami juga punya program untuk penyelamatan arsip di lembaga tinggi negara," ujar Mustari.
Setidaknya, ada tiga hal yang membuat Supersemar menjadi penting untuk didapat. Pertama, bentuk fisik.
"Supersemar ini satu atau dua lembar sih? Kalau satu lembar seperti apa? Kalau dua lembar juga seperti apa?" ujar Mustari.
Kedua, dari sisi konten. Publik harus mengetahui apa isi surat tersebut.
Ketiga, dari sisi konteks. Dokumen autentik Supersemar akan menjawab berbagai versi cerita tentang Supersemar.
"Jika ada yang asli, semuanya bisa terjawab kan. Dalam konteks momen tertentu yang terkait sejarah perjalanan bangsa Indonesia," ujar dia.
"Dokumen atau arsip negara merupakan bagian dari sejarah bangsa. Kalau kita tidak tau masa lalu, bagaimana kita bicara ke depan? Makanya kami terus cari. Kami harap suatu hari kami akan dapat yang kami inginkan," lanjut dia.
No comments:
Post a Comment