Anak muda...Persaingan taksi berbasis aplikasi dan taksi pangkalan yang mengakibatkan kerusuhan beberapa waktu lalu seperti bara dalam sekam yang dapat terbakar sewaktu-waktu.
Betapa tidak dengan adannya lampu hijau dari pemerintah untuk kelanjutan bisnis taksi online ini sama saja dengan mengabaikan protes para supir taksi pangkalan tersebut. Namun bila dicermati sebetulnya ada celah yang bisa dimanfaatkan oleh taksi pangkalan dari aplikasi taksi online tersebut.
Walaupun tidak memiliki sistem target setoran layaknya taksi pangkalan, baik Uber maupun Grab menetapkan sebuah batas "kerajinan" bagi para supirnya. Setiap kali supir taksi online menolak pesanan, misalnya karena alasan kemacetan, maka sistem aplikasi akan mengurangi poin sang supir. Sistem ini memang sengaja dibuat untuk mencegah para supir taksi online mengambil rute-rute tertentu saja.
Di sinilah celah yang W2KJ maksud. Dengan melakukan sedikit perubahan maka taksi online dapat masuk ke pasar ini. Misalkan ada order ke daerah X pada jam sibuk yang terkenal macet namun pengemudi taksi online melakukan reject, maka order tersebut wajib diteruskan pada taksi pangkalan sampai periode waktu dan alogoritma tertentu.
Apakah taksi online bersedia? Harus bersedia dan bila perlu dibuatkan peraturan dari kementerian terkait. Dengan begitu ada win-win situation dari kedua belah pihak. Dari pihak taksi online akan megurangi beban psikis supir untuk mengambil rute macet dan pengurangan PHK sepihak, pihak taksi pangkalan akan kebagian kue pelanggan yang lebih besar, dan ujungnya konsumen diuntungkan karena dapat terhindar dari beban tarif sibuk yang diterapkan oleh taksi online.
Ide ini W2KJ dapatkan setelah membaca Kisah dari Mantan Bos Konveksi yang Kini Memilih Jadi "Driver" GrabCar. Pada artikel tersebut terlihat banyaknya PHK pada supir GrabCar karena menolak order dengan rute-rute macet yang memakan banya waktu.
No comments:
Post a Comment