Cnnindonesia.com - Direktur The Wahid Institute Yenny Wahid menyampaikan, kelompok radikal akhir-akhir ini menggunakan pola sistematis dalam merekrut para mahasiswa di kampus-kampus Indonesia.
Yenny berpendapat, jika dilihat Islam di Indonesia sebenarnya berkarakter damai, variatif, toleran, dan adaptif, terutama terhadap kultur lokal. Bahkan, tuturnya, kultur lokal digunakan sebagai media untuk syiar agama, seperti yang dilakukan Wali Songo pada masanya.
Namun di sisi lain, Yenny membenarkan bahwa masih banyak kekerasan yang dilakukan oleh oknum-oknum yang mengatasnamakan agama Islam. Hal itu, menurutnya, terjadi karena adanya intoleransi yang menyebar secara sistematis, bukan hanya di pusat kota saja, melainkan juga di pelosok daerah.
"Dan kalau ini dibiarkan, maka ada transformasi dari gerakan intoleransi menjadi gerakan radikal. Maka dari itu muncul kasus-kasus terorisme. Selain itu, di Indonesia, jika ada suatu persoalan apapun, maka gampang dimanifestasi jadi persoalan agama," ujar Yenny dalam diskusi 'Perempuan untuk Perdamaian' di Rumah Kebangsaan, Jakarta Selatan, Kamis (21/4) petang.
Yenny mengungkapkan, ada fenomena yang cukup mengagetkan di mana saat ini terdapat pola perekrutan sistematis bagi kelompok-kelompok radikal untuk merekrut siswa di sekolah-sekolah dan kampus-kampus. Disebut mengagetkan karena pada awalnya sang target perekrutan cenderung berperilaku lebih baik dibanding sebelum direkrut.
"Padahal awalnya anak-anak bisa tambah disiplin, sopan, rapi, dan tekun. Secara ekspresi keagamaan tambah meningkat, mengaji, dan salatnya. Orang tua mana yang tidak senang?" katanya.
Apalagi, Yenny menyebut bahwa para mahasiswa yang direkrut kelompok radikal ini biasanya semakin gencar mengekspresikan kepeduliannya, misalnya tanggap mengumpulkan dana dukungan atau bakti sosial untuk Palestina dan sebagainya.
"Nah sampai tahapan ini, orangtua senang sekali. Tapi kalau tidak waspada, ini bisa meningkat. Ada anak-anak yang tergiring di fase berikutnya, yakni lebih patuh kepada senior atau pembimbingnya daripada orangtuanya. Bahkan ada yang mengkafirkan orangtuanya. Merasa lebih tahu dari orangtuanya," ujarnya.
Tahapan selanjutnya, papar Yenny, adalah pada saat si anak yang terpapar ajaran radikal sudah mengeksklusifkan dirinya, kemudian merasa dirinya yang paling benar. Selain itu, ia juga memilih ajaran agama yang kaku.
"Yang paling bahaya adalah ketika merasa Pancasila, demokrasi, dan NKRI itu toghut. Dan terakhir, dia ingin mengubah tradisi Islam di Indonesia. Nah gerakan ini ada tapi secara diam-diam, silent movement," katanya.
Apalagi, Yenny menyebut bahwa para mahasiswa yang direkrut kelompok radikal ini biasanya semakin gencar mengekspresikan kepeduliannya, misalnya tanggap mengumpulkan dana dukungan atau bakti sosial untuk Palestina dan sebagainya.
"Nah sampai tahapan ini, orangtua senang sekali. Tapi kalau tidak waspada, ini bisa meningkat. Ada anak-anak yang tergiring di fase berikutnya, yakni lebih patuh kepada senior atau pembimbingnya daripada orangtuanya. Bahkan ada yang mengkafirkan orangtuanya. Merasa lebih tahu dari orangtuanya," ujarnya.
Tahapan selanjutnya, papar Yenny, adalah pada saat si anak yang terpapar ajaran radikal sudah mengeksklusifkan dirinya, kemudian merasa dirinya yang paling benar. Selain itu, ia juga memilih ajaran agama yang kaku.
"Yang paling bahaya adalah ketika merasa Pancasila, demokrasi, dan NKRI itu toghut. Dan terakhir, dia ingin mengubah tradisi Islam di Indonesia. Nah gerakan ini ada tapi secara diam-diam, silent movement," katanya.
No comments:
Post a Comment