DI Gang Kenanga, Senen, tahun 1963, Sulaeman mencoba berdagang penganan ringan yang sampai saat ini tenar hingga ke pelosok Jakarta. Nama makanan yang sudah dikenal hampir setengah abad itu, otak-otak.
Tentu saja kualitas dan bahan utama yang digunakan otak-otak milik Sulaeman dan yang dijual di pinggir jalan jauh berbeda. Perbedaan itu yang membuat harga per bungkus makanan ini juga berbeda.
Kembali ke Gang Kenanga, gang itu kini sudah tak berbekas. Di atasnya kini berdiri bangunan bernama Atrium Senen. Makanan yang lahir dari gang ini pun terpaksa berpencar.
Otak-otak adalah penganan yang terbuat dari daging ikan, biasanya ikan tenggiri, yang dicampur dengan aneka rempah-rempah. Adonan itu kemudian dibungkus daun pisang untuk kemudian dibakar. Sambal kacang adalah teman sejawat yang tak terpisahkan.
Di awal tahun 1960-an, ketika Ny Sulaeman mempraktikkan kebolehan meracik bumbu dan memilih jenis ikan tenggiri serta memilah bagian ikan yang digunakan untuk adonan otak-otak, mesin pengolah adonan ikan belum tersedia.
Alhasil, kedua tangan jadi alat pengaduk. Sekitar 10 tahun setelah membuka warung, ternyata penggemar otak-otak tak terbendung. Tangan tak lagi mampu memenuhi permintaan pelanggan, perlu mesin agar proses pembuatan otak-otak bisa lebih cepat dengan kapasitas yang juga lebih besar.
"Waktu itu harga sebungkus otak-otak Rp 40. Sekarang Rp 3.500 per bungkus. Tapi rasakan sendiri bedanya," demikian diungkapkan Adjid yang sudah bekerja di warung Otak-otak Ny Sulaeman sejak tahun 1974. Kini, setelah pemiliknya meninggal dunia, Adjid dipercaya mengelola usaha ini.
Otak-otak Gang Kenanga tidak hanya legendaris tapi juga unik. Jika otak-otak lain menghasilkan warna kecokelatan setelah dibakar, maka otak-otak ini tetap putih. Menurut Adjid itu karena ikan tenggiri yang digunakan dipilih yang gepeng.
"Ikan tenggiri ada dua macam, gepeng dan bulat lonjong. Yang gepeng itu yang bagus dan memang mahal. Dari dulu kita pakai ikan tenggiri gepeng," ujarnya.
Pantas saja harga sebungkusnya sekitar Rp 3.500. Tapi memang begitu menggigit otak-otak ini baru terasa bedanya. Dagingnya tebal, tetap segar meski sudah dikelupas dari bungkusnya. Ikan tenggirinya sangat kental terasa dan tidak amis.
Belum lagi daun pisang pembungkusnya. Ini juga unik. Otak-otak ini hanya menggunakan daun pisang batu. Khasiatnya, agar otak-otak yang dibakar tak lengket ke daun. "Sebab daun pisang batu mengandung minyak jadi enggak bikin lengket setelah dibakar," Adjid menjelaskan.
Meski tak mengikuti perjalanan usaha otak-otak sejak awal, namun bapak enam putra/putri ini masuk ketika booming otak-otak dimulai. Setelah membeli mesin, maka usaha ini pun merasa perlu membuka cabang.
Pada 1974 otak-otak ini mulai buka cabang di Gedung Gloria, Pancoran, Jakarta Barat; Glodok Plasa; Kelapa Gading; Mangga Dua; bahkan juga Pecenongan.
"Di Pecenongan kita jualan malam, sampe jam 2 pagi. Itu sekitar tahun 1980-an. Tapi enggak bertahan lama. Di Glodok Plasa tutup juga akhirnya karena dua kali kebakar, tahun 1982 dan saat kerusuhan 1998. Di Mangga Dua cuma jalan beberapa bulan karena waktu itu masih sepi, Kelapa Gading juga tutup. Sekarang tinggal ini, yang dari Gedung Gloria trus kita masuk ke sini (belakang Gloria) setelah kerusuhan," begitu Adjid berkisah.
Jangan heran jika banyak pelanggannya mengira otak-otak ini sudah tutup selamanya. Apalagi karena keluarga Sulaeman pindah rumah ke kawasan Kayuputih.
"Banyak pelanggan pikir, otak-otak ini udah enggak jualan lagi. Kita sekarang memang hanya buka di sini. Di Kayuputih hanya untuk mengolah. Adonan dari Kayuputih, saya bawa ke sini untuk dijual," kata Adjid.
Tentu saja kualitas dan bahan utama yang digunakan otak-otak milik Sulaeman dan yang dijual di pinggir jalan jauh berbeda. Perbedaan itu yang membuat harga per bungkus makanan ini juga berbeda.
Kembali ke Gang Kenanga, gang itu kini sudah tak berbekas. Di atasnya kini berdiri bangunan bernama Atrium Senen. Makanan yang lahir dari gang ini pun terpaksa berpencar.
Otak-otak adalah penganan yang terbuat dari daging ikan, biasanya ikan tenggiri, yang dicampur dengan aneka rempah-rempah. Adonan itu kemudian dibungkus daun pisang untuk kemudian dibakar. Sambal kacang adalah teman sejawat yang tak terpisahkan.
Di awal tahun 1960-an, ketika Ny Sulaeman mempraktikkan kebolehan meracik bumbu dan memilih jenis ikan tenggiri serta memilah bagian ikan yang digunakan untuk adonan otak-otak, mesin pengolah adonan ikan belum tersedia.
Alhasil, kedua tangan jadi alat pengaduk. Sekitar 10 tahun setelah membuka warung, ternyata penggemar otak-otak tak terbendung. Tangan tak lagi mampu memenuhi permintaan pelanggan, perlu mesin agar proses pembuatan otak-otak bisa lebih cepat dengan kapasitas yang juga lebih besar.
"Waktu itu harga sebungkus otak-otak Rp 40. Sekarang Rp 3.500 per bungkus. Tapi rasakan sendiri bedanya," demikian diungkapkan Adjid yang sudah bekerja di warung Otak-otak Ny Sulaeman sejak tahun 1974. Kini, setelah pemiliknya meninggal dunia, Adjid dipercaya mengelola usaha ini.
Otak-otak Gang Kenanga tidak hanya legendaris tapi juga unik. Jika otak-otak lain menghasilkan warna kecokelatan setelah dibakar, maka otak-otak ini tetap putih. Menurut Adjid itu karena ikan tenggiri yang digunakan dipilih yang gepeng.
"Ikan tenggiri ada dua macam, gepeng dan bulat lonjong. Yang gepeng itu yang bagus dan memang mahal. Dari dulu kita pakai ikan tenggiri gepeng," ujarnya.
Pantas saja harga sebungkusnya sekitar Rp 3.500. Tapi memang begitu menggigit otak-otak ini baru terasa bedanya. Dagingnya tebal, tetap segar meski sudah dikelupas dari bungkusnya. Ikan tenggirinya sangat kental terasa dan tidak amis.
Belum lagi daun pisang pembungkusnya. Ini juga unik. Otak-otak ini hanya menggunakan daun pisang batu. Khasiatnya, agar otak-otak yang dibakar tak lengket ke daun. "Sebab daun pisang batu mengandung minyak jadi enggak bikin lengket setelah dibakar," Adjid menjelaskan.
Meski tak mengikuti perjalanan usaha otak-otak sejak awal, namun bapak enam putra/putri ini masuk ketika booming otak-otak dimulai. Setelah membeli mesin, maka usaha ini pun merasa perlu membuka cabang.
Pada 1974 otak-otak ini mulai buka cabang di Gedung Gloria, Pancoran, Jakarta Barat; Glodok Plasa; Kelapa Gading; Mangga Dua; bahkan juga Pecenongan.
"Di Pecenongan kita jualan malam, sampe jam 2 pagi. Itu sekitar tahun 1980-an. Tapi enggak bertahan lama. Di Glodok Plasa tutup juga akhirnya karena dua kali kebakar, tahun 1982 dan saat kerusuhan 1998. Di Mangga Dua cuma jalan beberapa bulan karena waktu itu masih sepi, Kelapa Gading juga tutup. Sekarang tinggal ini, yang dari Gedung Gloria trus kita masuk ke sini (belakang Gloria) setelah kerusuhan," begitu Adjid berkisah.
Jangan heran jika banyak pelanggannya mengira otak-otak ini sudah tutup selamanya. Apalagi karena keluarga Sulaeman pindah rumah ke kawasan Kayuputih.
"Banyak pelanggan pikir, otak-otak ini udah enggak jualan lagi. Kita sekarang memang hanya buka di sini. Di Kayuputih hanya untuk mengolah. Adonan dari Kayuputih, saya bawa ke sini untuk dijual," kata Adjid.
No comments:
Post a Comment