Gang Gloria, sebuah lorong di belakang pertokoan Gloria, Pancoran, Glodok, Jakarta Barat, menyimpan beraneka jajanan dan makanan yang seolah tak habis-habisnya untuk dikuak.
Kawasan yang oleh Wali Kota Jakarta Barat Djoko Ramadhan diupayakan menjadi pecinan yang setara dengan pecinan negara tetangga itu memang memendam tradisi kuliner sejak puluhan tahun bahkan seabad silam.
Sebagai bagian dari budaya masyarakat Tionghoa yang gemar mencicipi makanan, tak aneh jika warisan kuliner di pecinan begitu kaya. Makanan yang mengadopsi penganan betawi juga bertebaran di kawasan itu.
Ambil contoh Soto Betawi Afung. Meski terdengar sangat Tionghoa, tapi soto ini layaknya soto betawi yang biasa ditemui di seantero Jakarta. Yang membedakan, selain rasa juga keberadaannya di kawasan pecinan.
Ho Tjiang Fung alias Ho Yanti Herawati memulai berdagang soto betawi tahun 1982. Dua tahun kemudian ia menemukan rasa dan bahan yang pas untuk soto betawi ala Afung. Hingga hari ini racikan bumbu serta bahannya tak berubah.
”Kita mungkin beda dari bahannya. Mutu daging sapi, babat, semuanya mutu super. Saya juga pakai sumsum ekstra supaya kuah jadi wangi,” ujar Yanti beberapa waktu lalu.
Mengenakan chiongsam merah dipadu celana warna gelap dan sepatu kets, Yanti yang juga biasa disapa Afung begitu cekatan menyambut tamu, menanyakan pesanan, kemudian menyiapkan menu yang dipesan. Apalagi jika yang datang pelanggan setia.
”Saya enggak mau main-main sama rasa, sama kualitas daging. Saya mau daging sapi segar. Jadi uratnya juga kenyal,” katanya.
Saat Warta Kota bertandang ke warung itu, persis di sebelah warung kopi tiam dan pedagang cakwe, Afung sedang memeriksa bahan-bahan seperti daging dan kuah. Setelah memesan, tak lama menu terhidang.
Semangkuk soto betawi dengan kuah yang terlihat tak terlalu kental. Di dalamnya, potongan daging sapi, babat, dan urat, bergabung. Emping goreng tak ketinggalan, begitu pula jeruk limau.
Dari mangkuk, asap masih mengepul menyebarkan aroma yang tak mungkin ditolak. Apalagi di saat perut kosong. Suapan pertama, kuah meluncur mulus dari mulut melewati saraf perasa hingga melewati tenggorokan.
Rasa gurih dari kuah hasil rebusan tulang dan daging sapi, dengan rasa santan yang tak terlalu tebal, bercampur cita rasa jeruk limau. Lalu disantap isi soto bersama dengan kuahnya. Kentang, tomat, potongan daging, babat, semua langsung terbabat habis di dalam mulut.
Tiap hari Afung masih terjun langsung untuk melihat hasil akhir racikannya. ”Saya masih harus cicipin, liat kekentalannya. Nanti kalau enggak, pelanggan bisa protes, kok rasanya beda,” ungkapnya.
Ia tak bisa diam biarpun hanya sejenak jika ada pelanggan. Alasannya masuk akal, ia tak ingin pelayanan ke pelanggan tak maksimal.
Padahal setiap harinya ibu dua putri dan satu putra ini sudah keluar rumah pukul 04.00 dini hari dari rumahnya di Greenvile menuju warung di Gang Gloria, Pancoran. Pasalnya pukul 05.30 warungnya sudah buka, hingga pukul 17.00.
”Sebelum di sini, saya dagang di Pancoran dari tahun 1996. Itu di deket musala (di mulut Jalan Pancoran IV—Red). Di sana saya bisa jualan sampai jam 10 malem. Kalo di sini, jam 6 juga udah sepi,” tuturnya. Untuk harga, semangkuk soto betawi Afung dibanderol Rp 19.000. Kalau soto plus nasi jadi Rp 23.000.
Sebelum menetap di Gang Gloria dan Pancoran, Afung sudah mulai dagang soto betawi di Glodok (kini jadi Glodok City). Lalu pindah ke gedung Chandra pada sekitar tahun 1982, kemudian pindah ke Asemka sebentar di tahun 1996.
”Pelanggan pada lari, pada enggak tahu. Rasanya juga jadi pengin lari,” ujarnya, akhirnya diputuskan pindah ke Pancoran tahun 1996, dan kemudian menempati warung yang sekarang sejak tahun 2005.
No comments:
Post a Comment