Kompas.com - Bandung dikenal sebagai kota tujuan wisata kuliner. Sesuai julukan tersebut, makan di mana pun di Kota Bandung memang terasa enak.
Suasana di Jalan Alkateri dekat persimpangan dengan Jalan ABC, Minggu (21/11) pagi, belum begitu ramai. Namun, sekitar pukul 10.30 salah satu sudut persimpangan di kedua jalan tersebut penuh kerumunan orang.
Mereka yang baru datang segera menghampiri Oom Komariah (44) yang sibuk melayani pesanan lotek. Sebagian dari pembeli yang datang terlebih dulu duduk di kursi plastik sambil menikmati lotek yang per porsinya berharga Rp 7.500.
Makin siang, makin ramai pula pembeli yang datang. Mereka yang tak kebagian tempat duduk bahkan tak keberatan menikmati lotek sambil berdiri. Apalagi, Oom mengemas lotek dalam bentuk yang mudah dipegang, yaitu dalam kertas berwarna coklat berlapis plastik yang dibentuk kerucut, menyerupai es krim.
Kemasan inilah yang menjadi salah satu keunikan Lotek Alkateri. Setelah makan, pembeli hanya perlu mengembalikan sendok kepada Oom yang dibantu anaknya, Dani (26), saat berjualan.
Keramaian menjelang dan saat makan siang ini sampai menutupi trotoar. Maklum, sejak dijual ibu mertuanya yang meninggal dunia sebelum tahun 2000, Lotek Alkateri berlokasi di trotoar jalan yang didominasi toko peralatan elektronik.
Keramaian inilah yang menjadi tanda bagi mereka yang mencari lokasi Lotek Alkateri karena memang tidak ada papan atau spanduk sebagai petunjuk tempat. Atau, untuk mempermudah menemukan tempatnya, tanya saja pengemudi becak atau tukang parkir di sekitar Jalan ABC atau Jalan Alkateri, mereka pasti tahu.
Selain dibungkus kertas menyerupai es krim, keistimewaan lain Lotek Alkateri adalah daun pepaya dan pare yang ditambahkan dengan kangkung, taoge, kacang panjang, kol, dan labu yang direbus. Dani akan menambahkan dua jenis sayuran tersebut kalau pembeli memesan menu ”pahit” untuk diaduk dengan bumbu di atas cobek oleh ibunya.
”Awalnya saya hanya coba-coba menambahkan daun pepaya. Ternyata pembeli banyak yang suka,” kata Oom. Bahkan, tak jarang ada orang yang memesan lotek hanya dengan daun pepaya dan pare.
Di samping sayuran, seporsi Lotek Alkateri juga dilengkapi ketupat atau lontong, bahkan bisa juga nasi. Kerupuk ditumbuk kasar, lalu diaduk dengan sayuran, ketupat, dan bumbu kacang. Satu kerupuk lagi ditambahkan utuh di atas lotek.
Bumbu kental
Meski bahan dasar lotek yang sudah ada di Jalan Alkateri sejak tahun 1980-an ini sama seperti yang dipakai pedagang lotek yang berjualan dekat permukiman, Lotek Alkateri punya perbedaan di bumbu kacang. Racikan bumbunya kental, mirip selai kacang.
Ini karena Oom tidak menambahkan air saat mengaduk bumbu, yang sudah dibuat di rumah, dengan sayuran. Begitu pula ketika membuat sekitar 22 kg bumbu setiap paginya. Sebanyak 15 kg bumbu dipakai untuk berjualan di Jalan Alkateri, 7 kg lainnya untuk dipakai di cabang yang berada di Jalan Kalipah Apo. Di cabang yang sudah dibuka selama tiga tahun ini, pembeli dilayani oleh Engkos, suami Oom.
”Saat membuat bumbu, kacang tanah dan bumbu dapur lainnya dicampur kinca (gula merah yang sudah dicairkan), tidak ditambahkan lagi air. Makanya, loteknya tidak akan berair biarpun belinya dibungkus untuk dibawa ke rumah,” ujar Oom.
Oom membuat bumbu dengan rasa manis yang sedang dan tidak pedas. Cabai rawit atau kinca akan ditambahkan pada bumbu saat diaduk dengan sayuran jika pembeli menginginkan rasa pedas atau lebih manis.
Bumbu yang kental juga menjadi andalan Lotek Kalipah Apo yang lokasinya berada di Jalan Kalipah Apo 42 dan cabangnya di Jalan Batang Hari, Jakarta. Lotek yang sudah ada sejak tahun 1953 di Bandung ini menempati bangunan, lengkap dengan meja dan kursi makan.
Di sudut etalase makanan, terdapat dua cobek berukuran besar untuk mengaduk sayuran dan bumbu yang sudah dibuat sebelumnya. Selain kangkung, taoge, labu, dan kol, Lotek Kalipah Apo juga memakai nangka. Dengan harga Rp 12.000 tanpa nasi atau lontong, lotek ini disajikan dengan kerupuk udang di atas piring.
”Saya suka lotek di sini karena bumbunya kental dan tidak berair meski sudah beberapa jam dibungkus,” kata Sinta (42), yang tinggal di Padalarang. Saat datang untuk makan pada Sabtu (20/11) siang, Sinta mengajak ibunya, Alfiah (68), yang tinggal di Bekasi.
Lain dengan Sinta, Alfiah yang aslinya berasal dari Malang menyukai Lotek Kalipah Apo karena rasa bumbu kacang yang cenderung manis, sesuai dengan seleranya.
Pelanggan lain, Farida (51), juga suka dengan kelegitan bumbu Lotek Kalipah Apo. Farida bahkan mengenal lotek ini sejak tahun 1970-an. ”Dulu yang ngulek-nya masih emak. Rasanya sama sampai sekarang,” kata Farida.
Emak yang dimaksud Farida adalah Mariana Latief (92), yang merintis berdirinya Lotek Kalipah Apo untuk mencari penghasilan bagi keluarga setelah sang suami meninggal. Bersama anak sulungnya, Foula Suryadi (71)—dan kini diteruskan sang cucu, Jo Lydia (42)—Mariana mendirikan dan mempertahankan bisnis Lotek Kalipah Apo, termasuk dari sisi rasa.
Suasana di Jalan Alkateri dekat persimpangan dengan Jalan ABC, Minggu (21/11) pagi, belum begitu ramai. Namun, sekitar pukul 10.30 salah satu sudut persimpangan di kedua jalan tersebut penuh kerumunan orang.
Mereka yang baru datang segera menghampiri Oom Komariah (44) yang sibuk melayani pesanan lotek. Sebagian dari pembeli yang datang terlebih dulu duduk di kursi plastik sambil menikmati lotek yang per porsinya berharga Rp 7.500.
Makin siang, makin ramai pula pembeli yang datang. Mereka yang tak kebagian tempat duduk bahkan tak keberatan menikmati lotek sambil berdiri. Apalagi, Oom mengemas lotek dalam bentuk yang mudah dipegang, yaitu dalam kertas berwarna coklat berlapis plastik yang dibentuk kerucut, menyerupai es krim.
Kemasan inilah yang menjadi salah satu keunikan Lotek Alkateri. Setelah makan, pembeli hanya perlu mengembalikan sendok kepada Oom yang dibantu anaknya, Dani (26), saat berjualan.
Keramaian menjelang dan saat makan siang ini sampai menutupi trotoar. Maklum, sejak dijual ibu mertuanya yang meninggal dunia sebelum tahun 2000, Lotek Alkateri berlokasi di trotoar jalan yang didominasi toko peralatan elektronik.
Keramaian inilah yang menjadi tanda bagi mereka yang mencari lokasi Lotek Alkateri karena memang tidak ada papan atau spanduk sebagai petunjuk tempat. Atau, untuk mempermudah menemukan tempatnya, tanya saja pengemudi becak atau tukang parkir di sekitar Jalan ABC atau Jalan Alkateri, mereka pasti tahu.
Selain dibungkus kertas menyerupai es krim, keistimewaan lain Lotek Alkateri adalah daun pepaya dan pare yang ditambahkan dengan kangkung, taoge, kacang panjang, kol, dan labu yang direbus. Dani akan menambahkan dua jenis sayuran tersebut kalau pembeli memesan menu ”pahit” untuk diaduk dengan bumbu di atas cobek oleh ibunya.
”Awalnya saya hanya coba-coba menambahkan daun pepaya. Ternyata pembeli banyak yang suka,” kata Oom. Bahkan, tak jarang ada orang yang memesan lotek hanya dengan daun pepaya dan pare.
Di samping sayuran, seporsi Lotek Alkateri juga dilengkapi ketupat atau lontong, bahkan bisa juga nasi. Kerupuk ditumbuk kasar, lalu diaduk dengan sayuran, ketupat, dan bumbu kacang. Satu kerupuk lagi ditambahkan utuh di atas lotek.
Bumbu kental
Meski bahan dasar lotek yang sudah ada di Jalan Alkateri sejak tahun 1980-an ini sama seperti yang dipakai pedagang lotek yang berjualan dekat permukiman, Lotek Alkateri punya perbedaan di bumbu kacang. Racikan bumbunya kental, mirip selai kacang.
Ini karena Oom tidak menambahkan air saat mengaduk bumbu, yang sudah dibuat di rumah, dengan sayuran. Begitu pula ketika membuat sekitar 22 kg bumbu setiap paginya. Sebanyak 15 kg bumbu dipakai untuk berjualan di Jalan Alkateri, 7 kg lainnya untuk dipakai di cabang yang berada di Jalan Kalipah Apo. Di cabang yang sudah dibuka selama tiga tahun ini, pembeli dilayani oleh Engkos, suami Oom.
”Saat membuat bumbu, kacang tanah dan bumbu dapur lainnya dicampur kinca (gula merah yang sudah dicairkan), tidak ditambahkan lagi air. Makanya, loteknya tidak akan berair biarpun belinya dibungkus untuk dibawa ke rumah,” ujar Oom.
Oom membuat bumbu dengan rasa manis yang sedang dan tidak pedas. Cabai rawit atau kinca akan ditambahkan pada bumbu saat diaduk dengan sayuran jika pembeli menginginkan rasa pedas atau lebih manis.
Bumbu yang kental juga menjadi andalan Lotek Kalipah Apo yang lokasinya berada di Jalan Kalipah Apo 42 dan cabangnya di Jalan Batang Hari, Jakarta. Lotek yang sudah ada sejak tahun 1953 di Bandung ini menempati bangunan, lengkap dengan meja dan kursi makan.
Di sudut etalase makanan, terdapat dua cobek berukuran besar untuk mengaduk sayuran dan bumbu yang sudah dibuat sebelumnya. Selain kangkung, taoge, labu, dan kol, Lotek Kalipah Apo juga memakai nangka. Dengan harga Rp 12.000 tanpa nasi atau lontong, lotek ini disajikan dengan kerupuk udang di atas piring.
”Saya suka lotek di sini karena bumbunya kental dan tidak berair meski sudah beberapa jam dibungkus,” kata Sinta (42), yang tinggal di Padalarang. Saat datang untuk makan pada Sabtu (20/11) siang, Sinta mengajak ibunya, Alfiah (68), yang tinggal di Bekasi.
Lain dengan Sinta, Alfiah yang aslinya berasal dari Malang menyukai Lotek Kalipah Apo karena rasa bumbu kacang yang cenderung manis, sesuai dengan seleranya.
Pelanggan lain, Farida (51), juga suka dengan kelegitan bumbu Lotek Kalipah Apo. Farida bahkan mengenal lotek ini sejak tahun 1970-an. ”Dulu yang ngulek-nya masih emak. Rasanya sama sampai sekarang,” kata Farida.
Emak yang dimaksud Farida adalah Mariana Latief (92), yang merintis berdirinya Lotek Kalipah Apo untuk mencari penghasilan bagi keluarga setelah sang suami meninggal. Bersama anak sulungnya, Foula Suryadi (71)—dan kini diteruskan sang cucu, Jo Lydia (42)—Mariana mendirikan dan mempertahankan bisnis Lotek Kalipah Apo, termasuk dari sisi rasa.
No comments:
Post a Comment