Kompas.com - Rina (24) berjalan sekitar 50 meter dari rumahnya di Pondok Betung, Pondok Aren, Tangerang Selatan, menuju mulut gang tempat tukang ojek mangkal. ”Ke depan ya, Bang,” katanya seraya naik di boncengan salah satu ojek langganannya, Sabtu (29/1).
Sekitar 500 meter kemudian Rina turun tepat di halte di Jalan Saidi Raya dan membayar Rp 3.000. Lima menit kemudian mikrolet jurusan ke Kebayoran Lama datang. Ongkos sekali naik mikrolet ini Rp 2.000. ”Kadang, kalau saya turun di teminal Blok M, kernetnya minta Rp 2.500,” ujarnya.
Dari depan pasar, Rina jalan kaki lagi untuk naik bus transjakarta menuju halte Kebayoran Lama. Dia membayar Rp 3.500 lagi untuk bus transjakarta menuju tempat kerjanya di Harmoni, Jakarta Pusat.
”Saya belum punya kendaraan sendiri. Pilihannya cuma naik angkutan umum, tetapi mahal. Pulang pergi butuh Rp 17.000 – Rp 18.000,” kata Rina.
Pada hari kerja, Senin-Jumat, Rina harus berangkat sebelum pukul 06.00 agar bisa sampai di tempat kerjanya antara pukul 08.00–08.30.
”Kantor memberi toleransi karyawannya harus sampai maksimal pukul 09.00. Terkadang kalau macet banget, saya turun saja dari bus dan ganti pakai ojek lagi. Bisa keluar uang Rp 10.000 sampai Rp 25.000, tergantung jauhnya jarak ke kantor,” katanya.
Rina menyediakan minimal Rp 450.000 – Rp 600.000 untuk ongkos transportasi. Anggaran itu berat bagi Rina, apalagi penghasilan per bulannya tidak sampai Rp 3 juta.
”Saya mulai berpikir ingin membeli sepeda motor. Kebetulan masa kerja hampir setahun. Mungkin bisa dipercaya untuk ambil kredit,” kata Rina.
Beban ongkos yang mahal dan lamanya waktu perjalanan dengan angkutan umum juga dirasakan Wiwin (30), agen asuransi. Dia memilih naik sepeda motor sejak Oktober 2008.
”Pertimbangan saya naik sepeda motor adalah pekerjaan yang membutuhkan mobilitas tinggi,” ucap Wiwin.
Sebelum bersepeda motor, Wiwin pernah mencoba sebulan penuh naik angkutan umum di tahun 2008. Alhasil, dia harus merogoh Rp 600.000 untuk ongkos bekerja.
”Kalau macet parah, saya pakai ojek. Kalau badan terlalu capek, saya pilih taksi. Jadinya, pengeluaran untuk angkutan sangat besar,” ujar warga Tanah Abang, Jakarta Pusat itu.
Beratnya ongkos transportasi dengan angkutan umum juga membuat Ahmad, petugas keamanan di satu bank di Jalan Fatmawati, memilih naik sepeda motor. Ahmad hanya memerlukan uang Rp 10.000 guna membeli bensin setiap tiga hari untuk perjalanan dari rumahnya di Jalan Dewi Sartika, Jakarta Timur, ke kantornya.
Selain berbiaya murah, sepeda motor juga dinilai sebagai kendaraan yang praktis dan mudah menembus kemacetan. Celah di antara mobil dan bus dapat digunakan untuk terus melaju ke lokasi tujuan.
Jarot (30), warga Cibubur yang menjadi manajer pemasaran sebuah perusahaan susu bayi di Jalan TB Simatupang, mengatakan kemampuan bermanuver di jalan macet membuatnya memilih sepeda motor untuk berangkat kerja. Sepeda motor juga sangat praktis karena dia tidak perlu berganti moda kendaraan untuk ke kantor.
Mudah didapat
Banyaknya pengguna angkutan umum yang beralih ke sepeda motor juga dipicu kemudahan mendapat kredit kendaraan roda dua itu. Di berbagai mal besar sampai mal tingkat kecamatan selalu ada penjual sepeda motor dengan uang muka yang sangat rendah.
Di Mal Pamulang Square, Tangerang Selatan, misalnya, satu sepeda motor seharga Rp 12,5 juta dijual dengan uang muka Rp 400.000. Cicilan sepeda motor ini juga tergolong ringan, mulai dari Rp 400.000 sampai Rp 750.000, tergantung pada jumlah uang muka dan lamanya masa angsuran.
Di bursa motor bekas, uang muka hanya Rp 350.000 dan cicilannya juga lebih rendah dibanding motor baru. Mereka hanya meminta fotokopi KTP.
”Persaingan perdagangan sepeda motor sangat ketat sehingga kami harus menerapkan syarat seringan mungkin. Asalkan alamatnya jelas, kami lepas saja sepeda motor dengan uang muka rendah,” kata Slamet, pedagang sepeda motor di Ciputat, Tangerang Selatan.
Mematikan
Namun, ada risiko kecelakaan fatal dibalik biaya transportasi murah, kecepatan, kepraktisan, serta kemudahan memiliki sepeda motor. Jumlah sepeda motor yang terlalu banyak dan perilaku berlalu lintas yang buruk membuat risiko kecelakaan terus meningkat.
Data Polda Metro Jaya menunjukkan, jumlah kecelakaan sepeda motor tahun 2007 mencapai 3.939 kasus. Kemudian melonjak menjadi 7.605 kasus atau sekitar 21 kasus setiap hari pada tahun 2010.
Sementara jumlah korban tewas karena kecelakaan mencapai tiga orang per hari dan sebagian besar adalah pengguna sepeda motor.
Zaenal, warga Depok, Jawa Barat, mengaku pernah mengalami kecelakaan lalu lintas pada tahun 2009. Dia terjatuh dari sepeda motor dan kaki kanannya terlindas mobil.
Kecelakaan itu membuatnya dirawat di RS Fatmawati, Jakarta Selatan, selama sebulan. Namun, kini Zaenal tetap kembali mengendarai sepeda motor.
”KRL dan bus kota tidak nyaman. Saya tetap merasa lebih nyaman naik sepeda motor,” katanya berkilah.
No comments:
Post a Comment