Kompas.com - Hujan masih turun walau tinggal rintiknya. Siang hari udara dingin di kawasan Cibereum, Cisarua, Bogor, masih terasa. Namun, seorang perempuan berkaus tanpa lengan dan celana ketat putih itu tidak terusik dengan kondisi alam tersebut. Dia bergayut manja di lengan kiri seorang laki-laki.
”Itu jablai. Kalau pasangan kekasih, tidak begitu penampilannya,” kata Otoy (43) yang menjadi biong atau perantara kamar sewaan kepada wisatawan yang datang di kawasan Puncak, Bogor. Cukup dengan bermodal reklame di tangan bertuliskan ”ada kamar” dan senter di tangan, Dadang siap melayani siapa saja yang memerlukan kamar.
Sambil menikmati risoles goreng yang masih hangat di warung kecil di halaman parkir salah satu minimarket, lumayan seru menyaksikan banyak pasangan lalu-lalang atau turun- naik dari motor atau mobil.
Setelah membeli makanan dan minuman ringan, pasangan itu pergi lagi entah ke mana. Ada juga yang masuk ke satu gang dekat minimarket itu.
”Di situ ada beberapa rumah yang kamarnya bisa disewa. Murah, hanya Rp 190.000 per kamar. Mandinya pakai air hangat,” kata Otoy berpromosi.
Dia mendadak bangkit setelah menerima panggilan telepon. Dia pergi selama sekitar 30 menit dan kembali ke tempat semula duduk.
”Ada yang perlu bantuan. Kebetulan masih ada satu kamar yang kosong,” katanya tanpa merinci siapa yang dibantu dan jenis bantuan yang diberikan beberapa saat lalu.
Namun, Dadang (27), rekan Otoy, mau bercerita banyak. Pengakuan Dadang, kini makin banyak tukang ojek di Cisarua yang menjadi anjelo alias melayani jasa antar-jemput pekerja seks komersial (PSK) di situ.
Menurut bapak tiga anak itu, anjelo menjamur karena sekarang perempuan atau laki-laki PSK tidak lagi mangkal atau bermukim di satu kawasan khusus PSK. Mereka tinggal membaur di permukiman warga dengan menyewa satu kamar hunian.
Oleh karena itu, pengguna jasa PSK dan PSK perlu bantuan orang ketiga, yakni biong atau anjelo, untuk dapat bertatap muka.
”Sebelum bertemu, kesepakatan transaksi melalui telepon seluler. Kalau semua pihak setuju, anjelo tinggal bawa PSK ke vila, penginapan, atau hotel tempat pengguna PSK menginap. Jadi, PSK tidak main di kamar sewaannya. Hidung belang tidak mendatangi dia di kamar sewaannya. Kalau tidak begitu, warga bisa mengamuk. Kondisi yang begitu saja mulai bikin resah, ada yang pro dan kontra, ” kata Dadang.
Membaur
Dadang menyebut lokasi permukiman warga, termasuk kampung tempatnya berdomisili. Kini di kampungnya banyak PSK yang tinggal berbaur dengan warga setempat.
”Kalau boleh saya meminta, lebih baik ada lokalisasi seperti dulu. Jadi, perempuan baik-baik di kampung saya tidak ada yang kena pelecehan seksual seperti sekarang ini,” ujarnya.
Dadang merujuk masa ketika tempat hiburan belum dibakar massa serta hotel atau penginapan tempat PSK mangkal dan beroperasi tidak dirobohkan Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Bogor. Menurut dia, sejak peristiwa peristiwa pembakaran dan perobohan lokasi hiburan, kondisi ekonomi sosial warga Cisarua makin payah.
Apalagi sejak Rachmat Yasin menjadi Bupati Bogor dengan program nobat (nongol babat) yang menghancurkan bangunan yang diduga ada praktik prostitusi terselubung.
”Saya senang saja kalau tidak ada pelacuran di Puncak,” ujar Dadang.
Sekarang PSK malah menyebar tinggal di kampung warga. ”Pasti ada warga atau keluarga baik-baik akan terpengaruh gaya hidup PSK yang relatif mudah mendapat uang banyak,” kata Dadang.
No comments:
Post a Comment