Detik.com - Upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali (PK) keluarga pasien yang menggugat Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI) dikabulkan Mahkamah Agung (MA). Alhasil, RSPI harus membayar ganti rugi yang dialami keluarga pasien Sita Dewi Darmoko sebesar Rp 2 miliar akibat salah diagnosa tumor.
Putusan MA itu diketok pada 2 Februari 2012 namun baru saja. diumumkan kepada publik lewat website MA. Seperti detikcom kutip dari website MA, Jumat (21/6/2013) dalam putusan PK Nomor 515 PK/Pdt/2011, kasus bermula saat Sita Dewi melakukan operasi Tumor Ovarium di RSPI pada 12 Februari 2005. Tim dokter yang melakukan operasi itu dipimpin Prof DR Ichramsyah A Rachman dengan anggota Dr Hermansyur Kertowisatro dan Prof Dr I Made Nazar.
Dari operasi itu, berdasarkan hasil uji Pathology Anatomi (PA) dinyatakan tumor yang menjangkit di tubuh Sita dinyatakan tidak ganas. Setelah tumor itu diangkat, sampelnya dikirim untuk dites lagi. Hasilnya, pada 16 Februari 2005, PA justru menunjukkan fakta yang sebaliknya. Tumor yang ada di ovarium Sita ternyata ganas.
Namun PA ini tidak pernah dikabarkan ke Sita maupun keluarganya.
Tepat setahun kemudian atau pada pada 16 Februari 2006, Sita mengeluhkan adanya benjolan di sekitar perutnya. Lantas dilakukanlah CT Scan dan hasilnya Sita mengalami kanker liver stadium 4. Hal ini membuat kekecewaan yang sangat mendalam terhadap keluarga pasien karena awalnya dinyatakan bukan tumor ganas.
Lantas keluarga memindahkan Sita ke RS Medistra. Namun sayang, tidak berapa lama nyawa Sita tak tertolong.
Atas kesalahan diagnosa ini, keluarga pasien yang diwakili oleh anak Sita yaitu Pitra Azmirla dan Damitra Almira mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel).
Pitra dan Damitra menggugat RSPI beserta para dokter yang menangani ibunya tersebut. Dalam gugatannya, RSPI dkk diminta mengganti rugi kerugian materiil sebesar Rp 172,7 juta dan kerugian immaterial sebesar Rp 20 miliar.
“Almarhum mengalami proses pengobatan yang panjang dan melelahkan, sementara kelalaian penyampaian PA mengakibaktakn almarhum semakin menderita,” papar Pitra dan Damitra dalam berkas gugatan itu.
Kerugian immaterial juga disebabkan kehilangan ibu yang juga kepala rumah tangga. Menjelang akhir hayat sampai berpulangnya almarhum, janji dan tanggug jawab Para Tergugat tidak pernah terealisir.
“Bahkan para Tergugat mencari-cari alasan dan terus melempar tanggung jawab kepada para dokter yang menangani almarhum,” papar penggugat.
Atas gugatan ini, RSPI dkk menolak dengan tegas adanya kelalaian itu. “Para Penggugat telah menuduh Tergugat I kurang tanggap quod non berdasarkan hal-hal yang hanya merupakan suatu asumsi saja tanpa didukung bukti-bukti yang valid dan sah,” demikian salah satu eksepsi pihak rumah sakit dalam halaman 10.
Atas gugatan ini, PN Jaksel pada 30 Agustus 2007 memutuskan RSPI dkk telah melakukan perbuatan melawan hukum. Oleh sebab itu RSPI dkk harus membayar ganti rugi baik materil maupun immaterial sebesar Rp 2 miliar.
Putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta pada 27 November 2008 dalam putusan bernomor 218/PDT/2008/PT.DKI. Dalam vonis banding itu, Tergugat III yaitu Prof Dr I Made Nazar dibebaskan dari hukuman.
Adapun di tingkat kasasi, MA hanya menghukum pihak RSPI sebesar Rp 200 juta. Sedangkan para dokter dinyatakan tidak melakukan perbuatan melawan hukum. Atas vonis ini, Pitra pun mengajukan PK dan dikabulkan.
“Mengadili kembali, menyatakan para Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum. Menghukum para Tergugat membayar kerugian materil dan immaterial sebesar Rp 2 miliar,” putus majelis PK yang diadili oleh Atja Sondjaja, Valerina JL Kriekhoff dan I Made Tara pada 2 Februari 2012 silam.
Putusan MA itu diketok pada 2 Februari 2012 namun baru saja. diumumkan kepada publik lewat website MA. Seperti detikcom kutip dari website MA, Jumat (21/6/2013) dalam putusan PK Nomor 515 PK/Pdt/2011, kasus bermula saat Sita Dewi melakukan operasi Tumor Ovarium di RSPI pada 12 Februari 2005. Tim dokter yang melakukan operasi itu dipimpin Prof DR Ichramsyah A Rachman dengan anggota Dr Hermansyur Kertowisatro dan Prof Dr I Made Nazar.
Dari operasi itu, berdasarkan hasil uji Pathology Anatomi (PA) dinyatakan tumor yang menjangkit di tubuh Sita dinyatakan tidak ganas. Setelah tumor itu diangkat, sampelnya dikirim untuk dites lagi. Hasilnya, pada 16 Februari 2005, PA justru menunjukkan fakta yang sebaliknya. Tumor yang ada di ovarium Sita ternyata ganas.
Namun PA ini tidak pernah dikabarkan ke Sita maupun keluarganya.
Tepat setahun kemudian atau pada pada 16 Februari 2006, Sita mengeluhkan adanya benjolan di sekitar perutnya. Lantas dilakukanlah CT Scan dan hasilnya Sita mengalami kanker liver stadium 4. Hal ini membuat kekecewaan yang sangat mendalam terhadap keluarga pasien karena awalnya dinyatakan bukan tumor ganas.
Lantas keluarga memindahkan Sita ke RS Medistra. Namun sayang, tidak berapa lama nyawa Sita tak tertolong.
Atas kesalahan diagnosa ini, keluarga pasien yang diwakili oleh anak Sita yaitu Pitra Azmirla dan Damitra Almira mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel).
Pitra dan Damitra menggugat RSPI beserta para dokter yang menangani ibunya tersebut. Dalam gugatannya, RSPI dkk diminta mengganti rugi kerugian materiil sebesar Rp 172,7 juta dan kerugian immaterial sebesar Rp 20 miliar.
“Almarhum mengalami proses pengobatan yang panjang dan melelahkan, sementara kelalaian penyampaian PA mengakibaktakn almarhum semakin menderita,” papar Pitra dan Damitra dalam berkas gugatan itu.
Kerugian immaterial juga disebabkan kehilangan ibu yang juga kepala rumah tangga. Menjelang akhir hayat sampai berpulangnya almarhum, janji dan tanggug jawab Para Tergugat tidak pernah terealisir.
“Bahkan para Tergugat mencari-cari alasan dan terus melempar tanggung jawab kepada para dokter yang menangani almarhum,” papar penggugat.
Atas gugatan ini, RSPI dkk menolak dengan tegas adanya kelalaian itu. “Para Penggugat telah menuduh Tergugat I kurang tanggap quod non berdasarkan hal-hal yang hanya merupakan suatu asumsi saja tanpa didukung bukti-bukti yang valid dan sah,” demikian salah satu eksepsi pihak rumah sakit dalam halaman 10.
Atas gugatan ini, PN Jaksel pada 30 Agustus 2007 memutuskan RSPI dkk telah melakukan perbuatan melawan hukum. Oleh sebab itu RSPI dkk harus membayar ganti rugi baik materil maupun immaterial sebesar Rp 2 miliar.
Putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta pada 27 November 2008 dalam putusan bernomor 218/PDT/2008/PT.DKI. Dalam vonis banding itu, Tergugat III yaitu Prof Dr I Made Nazar dibebaskan dari hukuman.
Adapun di tingkat kasasi, MA hanya menghukum pihak RSPI sebesar Rp 200 juta. Sedangkan para dokter dinyatakan tidak melakukan perbuatan melawan hukum. Atas vonis ini, Pitra pun mengajukan PK dan dikabulkan.
“Mengadili kembali, menyatakan para Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum. Menghukum para Tergugat membayar kerugian materil dan immaterial sebesar Rp 2 miliar,” putus majelis PK yang diadili oleh Atja Sondjaja, Valerina JL Kriekhoff dan I Made Tara pada 2 Februari 2012 silam.
No comments:
Post a Comment