Kompas.com - Sering kali orangtua menjadi tak sabar menghadapi anak batita yang suka "membangkang". Padahal, salah penanganan, buruk dampaknya. Perlu dipahami, anak batita sedang berada pada fase negativistik dan hal ini normal dalam tumbuh kembang anak.
Yuyun Fitriah, S Psi, Kepala KB/TK Izara, mengatakan bahwa pada fase yang biasanya terjadi pada usia 2 tahun ini, anak batita mulai bisa menunjukkan penolakannya dengan cara membangkang, tidak patuh, atau memperlihatkan bahwa dirinya bisa "mandiri" melakukan sesuatu. Orangtua kadang tak sabar menghadapinya sehingga emosi pun meledak.
Dalam menghadapi perilaku anak batita yang "mengundang emosi", ada beberapa hal yang perlu diperhatikan orangtua:
* Jangan menegur anak di depan orang banyak. Meski masih batita, anak juga mempunyai rasa malu karena merasa semua mata mengarah kepadanya. Hal ini dapat memengaruhi rasa percaya dirinya.
* Pertimbangkan kondisi emosi anak, apakah dia sedang good mood ataukah bad mood? Sehingga teguran yang orangtua berikan tidak menjadi beban bagi anak.
* Pertimbangkan pula, apakah hal yang akan orangtua sampaikan, baik melalui sikap maupun pembicaraan, dapat membuatnya trauma. Semestinya orangtua dapat menghindari anak dari trauma akibat ucapan atau sikap orangtuanya. Banyak orangtua yang yang tidak sadar bahwa trauma itu dapat dipendam anak dalam waktu cukup lama dan memengaruhi kehidupannya di saat dewasa.
* Dalam memberikan "hukuman" hendaknya menyesuaikan dengan apa yang sudah dikerjakannya. Jangan berlebihan melampiaskan emosi sehingga orangtua tidak memberikan respons yang tepat. Yang terpenting adalah memberikan pembelajaran kepada si anak, yang memang belum mengerti mana yang boleh dan tidak.
* Jika respons yang diberikan tidak memberi pembelajaran baginya, bahwa hal tersebut sebaiknya tidak dilakukan, maka ini berarti orangtua masih terbawa emosi dan tidak memberikan solusi atas perilaku negatif anak batita. Jangan lupa, anak masih dalam kondisi banyak belajar dan melihat sekelilingnya. Ia akan melihat perilaku yang ditunjukkan orangtuanya adalah contoh perilaku yang harus diikuti.
* Usahakan memberi contoh hampir mendekati kenyataan dan selalu kembalikan kepada anak, apakah ia ingin mengalami hal serupa. Umpamanya, si kecil sering memukul, kita bisa katakan bahwa memukul itu membuat orang lain merasa sakit. Apakah kamu mau dipukul?
* Beri penjelasan dengan logika yang benar. Ketika anak tidak mau menghabiskan makanannya, misal, orangtua dapat menceritakan bagaimana di daerah lain banyak anak yang tidak bisa makan. Tentu ini dilakukan dengan bahasa yang sederhana, sesuai dengan pemahaman anak seusianya.
Yuyun Fitriah, S Psi, Kepala KB/TK Izara, mengatakan bahwa pada fase yang biasanya terjadi pada usia 2 tahun ini, anak batita mulai bisa menunjukkan penolakannya dengan cara membangkang, tidak patuh, atau memperlihatkan bahwa dirinya bisa "mandiri" melakukan sesuatu. Orangtua kadang tak sabar menghadapinya sehingga emosi pun meledak.
Dalam menghadapi perilaku anak batita yang "mengundang emosi", ada beberapa hal yang perlu diperhatikan orangtua:
* Jangan menegur anak di depan orang banyak. Meski masih batita, anak juga mempunyai rasa malu karena merasa semua mata mengarah kepadanya. Hal ini dapat memengaruhi rasa percaya dirinya.
* Pertimbangkan kondisi emosi anak, apakah dia sedang good mood ataukah bad mood? Sehingga teguran yang orangtua berikan tidak menjadi beban bagi anak.
* Pertimbangkan pula, apakah hal yang akan orangtua sampaikan, baik melalui sikap maupun pembicaraan, dapat membuatnya trauma. Semestinya orangtua dapat menghindari anak dari trauma akibat ucapan atau sikap orangtuanya. Banyak orangtua yang yang tidak sadar bahwa trauma itu dapat dipendam anak dalam waktu cukup lama dan memengaruhi kehidupannya di saat dewasa.
* Dalam memberikan "hukuman" hendaknya menyesuaikan dengan apa yang sudah dikerjakannya. Jangan berlebihan melampiaskan emosi sehingga orangtua tidak memberikan respons yang tepat. Yang terpenting adalah memberikan pembelajaran kepada si anak, yang memang belum mengerti mana yang boleh dan tidak.
* Jika respons yang diberikan tidak memberi pembelajaran baginya, bahwa hal tersebut sebaiknya tidak dilakukan, maka ini berarti orangtua masih terbawa emosi dan tidak memberikan solusi atas perilaku negatif anak batita. Jangan lupa, anak masih dalam kondisi banyak belajar dan melihat sekelilingnya. Ia akan melihat perilaku yang ditunjukkan orangtuanya adalah contoh perilaku yang harus diikuti.
* Usahakan memberi contoh hampir mendekati kenyataan dan selalu kembalikan kepada anak, apakah ia ingin mengalami hal serupa. Umpamanya, si kecil sering memukul, kita bisa katakan bahwa memukul itu membuat orang lain merasa sakit. Apakah kamu mau dipukul?
* Beri penjelasan dengan logika yang benar. Ketika anak tidak mau menghabiskan makanannya, misal, orangtua dapat menceritakan bagaimana di daerah lain banyak anak yang tidak bisa makan. Tentu ini dilakukan dengan bahasa yang sederhana, sesuai dengan pemahaman anak seusianya.
No comments:
Post a Comment