Kompas.com - Keputusan pemerintah Indonesia untuk menerbitkan Perpres tentang paten tujuh obat HIV dan Hepatitis B disambut positf oleh berbagai pihak. Langkah ini dinilai sebagai suatu hal yang berani dan sangat penting bagi pengendalian HIV/AIDS di Indonesia.
"Langkah yang diambil Indonesia ini merupakan sebuah manuver penting, tidak hanya berdampak penting bagi para penderita HIV di negaranya yang selama ini telah gigih berkampanye mendukung langkah tersebut, namun juga bagi negara-negara berkembang lainnya ", ungkap Direktur Advokasi Kebijakan Access Campaign MSF (Médecins Sans Frontières/Dokter Lintas Batas) Michelle Childs dalam siaran persnya kepada Kompas.com.
"Ini merupakan sebuah lisensi dengan dampak terbesar yang pernah dikeluarkan oleh pemerintah, serta dengan jelas mencerminkan realitas jangkauan opsi-opsi pengobatan yang dibutuhkan," tambahnya.
Pada 3 September lalu, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 76 Tahun 2012 tentang Pelaksaaan Paten oleh Pemerintah terhadap Obat Antiviral dan Antiretroviral, yang intinya mengatur tentang “hak guna pemerintah” - sejenis lisensi wajib yang membebaskan pemerintah dari pembatasan hak paten. Langkah ini ditempuh guna memproduksi tujuh jenis obat-obatan generik yang sangat penting dalam terapi HIV dan Hepatitis B. Paten yang diambil alih ini tadinya dimiliki oleh perusahaan farmasi terkemuka seperti Merck, GSK, Bristol Myers Squibb, Abbott and Gilead.
Obat-obatan tersebut adalah efavirenz, abacavir, tenofovir, lopinavir/ritonavir, didanosine, dan kombinasi dosis-tetap tenofovir/emtricitabine serta tenofovir/emtricitabine/efavirenz. Selama ini obat-obatan ini didapatkan dengan cara mengimport dari luar negeri. Dengan hadirnya Perpres ini, produksi obat-obatan ini bisa dilakukan oleh perusahaan dalam negeri yang ditunjuk pemerintah dengan kewajiban pembayaran royalti sebesar 0,5% kepada perusahaan pemegang paten. Hal ini akan menjamin sekitar 310.000 orang yang hidup dengan HIV di Indonesia untuk bisa memiliki akses terhadap obat-obatan penting penyambung nyawa mereka.
Sambutan positif juga disampaikan Indonesia AIDS Coalition (IAC), sebuah LSM yang bekerja mempromosikan transparansi dan akuntabilitas pemerintah dalam program penanggulangan AIDS di Indonesia. IAC menilai penerbitan Perpres tersebut sebagai langkah yang membanggakan dan mengundang perhatian dunia internasional.
"Kehadiran Perpes ini telah menunjukkan pemerintah kita berdiri bersama kepentingan rakyat banyak dan bukan kepentingan korporasi. Indonesia AIDS Coalition menyambut baik keluarnya Perpres 76 ini”, ujar Aditya Wardhana, Direktur Eksekutif IAC.
Hadirnya Perpres ini kata Aditya akan sangat membantu menurunkan epidemi AIDS di Indonesia. Tingkat keberhasilan terapi obat ARV pada ODHA (Orang dengan HIV dan AIDS) telah terbukti secara ilmiah mampu menurunkan tingkat penularan baru HIV sebesar 96 persen. Dengan semakin banyaknya jenis ARV, maka harapan dan keberhasilan pengobatan pada ODHA akan semakin meningkat sehingga penularan baru dapat diturunkan.
Perlu diketahui bahwa selama ini ganjalan bagi ODHA dalam memulai dan menjalankan terapi ARV adalah masih adanya ketakutan akan efek samping dari obat yang jenisnya terbatas serta keberlanjutan terapi ini. Adanya produksi dalam negeri dengan jenis yang memadai diharapkan akan memupus ketakutan-ketakutan ini.
“Kehadiran ARV secara berkesinambungan juga akan membantu menghilangkan stigma bahwa HIV sama dengan kematian. Ini adalah pesan positif bagi kesehatan publik. Dengan terapi ARV, ODHA bisa tetap bertahan sehat sampai berpuluh tahun. Ini merupakan kampanye bagi masyarakat untuk kemudian berani melakukan tes HIV. Lebih cepat kita tahu status HIV, semakin cepat kita bisa kendalikan epidemi AIDS ini bersama” tutup Aditya.
"Langkah yang diambil Indonesia ini merupakan sebuah manuver penting, tidak hanya berdampak penting bagi para penderita HIV di negaranya yang selama ini telah gigih berkampanye mendukung langkah tersebut, namun juga bagi negara-negara berkembang lainnya ", ungkap Direktur Advokasi Kebijakan Access Campaign MSF (Médecins Sans Frontières/Dokter Lintas Batas) Michelle Childs dalam siaran persnya kepada Kompas.com.
"Ini merupakan sebuah lisensi dengan dampak terbesar yang pernah dikeluarkan oleh pemerintah, serta dengan jelas mencerminkan realitas jangkauan opsi-opsi pengobatan yang dibutuhkan," tambahnya.
Pada 3 September lalu, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 76 Tahun 2012 tentang Pelaksaaan Paten oleh Pemerintah terhadap Obat Antiviral dan Antiretroviral, yang intinya mengatur tentang “hak guna pemerintah” - sejenis lisensi wajib yang membebaskan pemerintah dari pembatasan hak paten. Langkah ini ditempuh guna memproduksi tujuh jenis obat-obatan generik yang sangat penting dalam terapi HIV dan Hepatitis B. Paten yang diambil alih ini tadinya dimiliki oleh perusahaan farmasi terkemuka seperti Merck, GSK, Bristol Myers Squibb, Abbott and Gilead.
Obat-obatan tersebut adalah efavirenz, abacavir, tenofovir, lopinavir/ritonavir, didanosine, dan kombinasi dosis-tetap tenofovir/emtricitabine serta tenofovir/emtricitabine/efavirenz. Selama ini obat-obatan ini didapatkan dengan cara mengimport dari luar negeri. Dengan hadirnya Perpres ini, produksi obat-obatan ini bisa dilakukan oleh perusahaan dalam negeri yang ditunjuk pemerintah dengan kewajiban pembayaran royalti sebesar 0,5% kepada perusahaan pemegang paten. Hal ini akan menjamin sekitar 310.000 orang yang hidup dengan HIV di Indonesia untuk bisa memiliki akses terhadap obat-obatan penting penyambung nyawa mereka.
Sambutan positif juga disampaikan Indonesia AIDS Coalition (IAC), sebuah LSM yang bekerja mempromosikan transparansi dan akuntabilitas pemerintah dalam program penanggulangan AIDS di Indonesia. IAC menilai penerbitan Perpres tersebut sebagai langkah yang membanggakan dan mengundang perhatian dunia internasional.
"Kehadiran Perpes ini telah menunjukkan pemerintah kita berdiri bersama kepentingan rakyat banyak dan bukan kepentingan korporasi. Indonesia AIDS Coalition menyambut baik keluarnya Perpres 76 ini”, ujar Aditya Wardhana, Direktur Eksekutif IAC.
Hadirnya Perpres ini kata Aditya akan sangat membantu menurunkan epidemi AIDS di Indonesia. Tingkat keberhasilan terapi obat ARV pada ODHA (Orang dengan HIV dan AIDS) telah terbukti secara ilmiah mampu menurunkan tingkat penularan baru HIV sebesar 96 persen. Dengan semakin banyaknya jenis ARV, maka harapan dan keberhasilan pengobatan pada ODHA akan semakin meningkat sehingga penularan baru dapat diturunkan.
Perlu diketahui bahwa selama ini ganjalan bagi ODHA dalam memulai dan menjalankan terapi ARV adalah masih adanya ketakutan akan efek samping dari obat yang jenisnya terbatas serta keberlanjutan terapi ini. Adanya produksi dalam negeri dengan jenis yang memadai diharapkan akan memupus ketakutan-ketakutan ini.
“Kehadiran ARV secara berkesinambungan juga akan membantu menghilangkan stigma bahwa HIV sama dengan kematian. Ini adalah pesan positif bagi kesehatan publik. Dengan terapi ARV, ODHA bisa tetap bertahan sehat sampai berpuluh tahun. Ini merupakan kampanye bagi masyarakat untuk kemudian berani melakukan tes HIV. Lebih cepat kita tahu status HIV, semakin cepat kita bisa kendalikan epidemi AIDS ini bersama” tutup Aditya.
No comments:
Post a Comment