"Graha Kopi" Bintaro, Pondok Jagung, Tangerang Selatan |
Kompas.com - De gustibus non est disputandum. Selera bukanlah sesuatu yang bisa diperdebatkan. Tak heran bila makanan yang dianggap enak oleh seseorang, belum tentu cocok di lidah orang lain. Dilema itulah yang dihadapi Hadi Lesmono saat pengunjung warung kopinya bertanya kopi apa yang paling enak.
Menurut Hadi Lesmono, banyak orang datang ke warung kopinya di Pasar Segar, Graha Raya, Tangerang Selatan, dengan selera kopi tertentu yang dianggap paling enak. Namun, kebanyakan dari yang datang itu ternyata baru mencicipi beberapa jenis kopi di gerai-gerai kopi terkenal dan langsung memutuskan kopi dari gerai-gerai tersebut adalah yang terenak. Lidah mereka, ibaratnya, belum tercerahkan karena baru mengerti sedikit saja rasa kopi.
Ada juga yang setia pada kopi sachet merek tertentu tanpa menelusuri bubuk apa yang ada di kantong-kantong tersebut. "Banyak yang tidak tahu apakah aroma wanginya itu buatan atau wangi kopi sesungguhnya," tutur Hadi Lesmono.
Maka setiap kali ada yang menanyakan kopi terenak, Hadi akan mempersilakan mereka memilih sendiri. Mantan bankir di sebuah bank itu akan meminta pelanggan mencium aroma kopi dalam toples-toples kaca berisi biji kopi sambil menjelaskan asal kopi itu dan rasa apa yang kira-kira akan ditemui saat lidah menyesapnya.
"Tentu masing-masing orang akan mempunyai pendapat sendiri tentang kopi terenak. Semakin banyak jenis kopi yang dicoba, seseorang akan lebih mahir merasakan kopi, dan dengan begitu akan menemukan kopi yang paling cocok dengan lidahnya," ungkap Hadi Lesmono.
Meski orang boleh fanatik dengan kopi tertentu, Hadi menyarankan agar pelanggannya tidak hanya meminum satu jenis kopi. "Banyak sekali kopi yang enak. Masing-masing kopi memiliki aroma dan rasa khas. Rugi kalau hanya terpaku pada satu macam kopi," katanya.
Di warungnya, Hadi mengoleksi beberapa kopi terbaik dari seluruh Indonesia. Kopi-kopi itu ia pilih dari kebun-kebun tertentu dan bukan campuran dari berbagai biji kopi. "Kopi-kopi kita itu rasanya 'tebal', flavour-nya beda-beda. Saya biasanya mengambil yang enak saja dari berbagai kebun," katanya.
Sebagai contoh, saat memilih kopi arabika dari Toraja, ia dihadapkan pada berbagai pilihan. Ada kopi Toraja dari Sinjai, kopi Enrekang dari Kelurahan Kalosi, Kabupaten Enrekang, dan lainnya. Salah satu yang dipilih kemudian adalah kopi Toraja dari Sapan dan Minanga.
Kopi yang kemudian disebut Sapan Minanga ini memiliki profil yang tebal dan manis dengan biji mengilat saat dipanggang. Aromanya wangi seperti perpaduan wangi kayu hutan, cokelat, kacang-kacangan, lumut, hingga jamur liar. Lidah yang terlatih akan mengecap rasa manis yang kental saat menyeruput kopi ini meski dihidangkan tanpa gula.
Ada pula yang lebih langka dan sulit didapat di pasaran, yaitu kopi Toraja Pulu-pulu. Kopi ini memiliki aroma ceri dan sedikit lemon sehingga memiliki rasa asam yang halus. Saat dihidangkan, ada dominasi aroma cokelat dan meninggalkan rasa manis yang bersih di lidah. "Ini termasuk kopi susah. Artinya, sulit dicari di pasaran," ujar Hadi.
Contoh di atas barulah variasi dari kopi Toraja. Hadi Lesmono masih menyimpan berbagai kopi seperti Gayo Sanopa yang beraroma mantap menakjubkan, Lintong yang beraroma kuat, kopi Wamena yang tersisipi aroma buah-buahan, Flores Bajawa, Mandailing, hingga kopi Trapis dari biara di Rowoseneng yang memiliki aroma seperti pisang ranum.
"Masing-masing daerah memiliki kopi yang khas. Bahkan tiap-tiap kebun kopi menghasilkan kopi dengan rasa berbeda. Itulah seninya mencari kopi yang enak. Jadi rugi kalau kita hanya merasakan segelintir kopi dan menganggap sudah ketemu yang paling enak," ujarnya.
Kembali pada soal selera, bagi Hadi, sah saja seseorang suka pada kopi tertentu. Namun, sebaiknya diingat bahwa Indonesia memiliki banyak sekali kopi enak dan sedikit saja orang yang mengerti, apalagi merasakannya. Maka dari itu, lebih baik bagi seseorang untuk menentukan kopi favoritnya setelah mencoba sebanyak mungkin jenis kopi. Setelah lidah merasakan berbagai aroma dan tercerahkan, barulah seseorang boleh berkata, selera bukanlah sesuatu yang bisa diperdebatkan....
Menurut Hadi Lesmono, banyak orang datang ke warung kopinya di Pasar Segar, Graha Raya, Tangerang Selatan, dengan selera kopi tertentu yang dianggap paling enak. Namun, kebanyakan dari yang datang itu ternyata baru mencicipi beberapa jenis kopi di gerai-gerai kopi terkenal dan langsung memutuskan kopi dari gerai-gerai tersebut adalah yang terenak. Lidah mereka, ibaratnya, belum tercerahkan karena baru mengerti sedikit saja rasa kopi.
Ada juga yang setia pada kopi sachet merek tertentu tanpa menelusuri bubuk apa yang ada di kantong-kantong tersebut. "Banyak yang tidak tahu apakah aroma wanginya itu buatan atau wangi kopi sesungguhnya," tutur Hadi Lesmono.
Maka setiap kali ada yang menanyakan kopi terenak, Hadi akan mempersilakan mereka memilih sendiri. Mantan bankir di sebuah bank itu akan meminta pelanggan mencium aroma kopi dalam toples-toples kaca berisi biji kopi sambil menjelaskan asal kopi itu dan rasa apa yang kira-kira akan ditemui saat lidah menyesapnya.
"Tentu masing-masing orang akan mempunyai pendapat sendiri tentang kopi terenak. Semakin banyak jenis kopi yang dicoba, seseorang akan lebih mahir merasakan kopi, dan dengan begitu akan menemukan kopi yang paling cocok dengan lidahnya," ungkap Hadi Lesmono.
Meski orang boleh fanatik dengan kopi tertentu, Hadi menyarankan agar pelanggannya tidak hanya meminum satu jenis kopi. "Banyak sekali kopi yang enak. Masing-masing kopi memiliki aroma dan rasa khas. Rugi kalau hanya terpaku pada satu macam kopi," katanya.
Di warungnya, Hadi mengoleksi beberapa kopi terbaik dari seluruh Indonesia. Kopi-kopi itu ia pilih dari kebun-kebun tertentu dan bukan campuran dari berbagai biji kopi. "Kopi-kopi kita itu rasanya 'tebal', flavour-nya beda-beda. Saya biasanya mengambil yang enak saja dari berbagai kebun," katanya.
Sebagai contoh, saat memilih kopi arabika dari Toraja, ia dihadapkan pada berbagai pilihan. Ada kopi Toraja dari Sinjai, kopi Enrekang dari Kelurahan Kalosi, Kabupaten Enrekang, dan lainnya. Salah satu yang dipilih kemudian adalah kopi Toraja dari Sapan dan Minanga.
Kopi yang kemudian disebut Sapan Minanga ini memiliki profil yang tebal dan manis dengan biji mengilat saat dipanggang. Aromanya wangi seperti perpaduan wangi kayu hutan, cokelat, kacang-kacangan, lumut, hingga jamur liar. Lidah yang terlatih akan mengecap rasa manis yang kental saat menyeruput kopi ini meski dihidangkan tanpa gula.
Ada pula yang lebih langka dan sulit didapat di pasaran, yaitu kopi Toraja Pulu-pulu. Kopi ini memiliki aroma ceri dan sedikit lemon sehingga memiliki rasa asam yang halus. Saat dihidangkan, ada dominasi aroma cokelat dan meninggalkan rasa manis yang bersih di lidah. "Ini termasuk kopi susah. Artinya, sulit dicari di pasaran," ujar Hadi.
Contoh di atas barulah variasi dari kopi Toraja. Hadi Lesmono masih menyimpan berbagai kopi seperti Gayo Sanopa yang beraroma mantap menakjubkan, Lintong yang beraroma kuat, kopi Wamena yang tersisipi aroma buah-buahan, Flores Bajawa, Mandailing, hingga kopi Trapis dari biara di Rowoseneng yang memiliki aroma seperti pisang ranum.
"Masing-masing daerah memiliki kopi yang khas. Bahkan tiap-tiap kebun kopi menghasilkan kopi dengan rasa berbeda. Itulah seninya mencari kopi yang enak. Jadi rugi kalau kita hanya merasakan segelintir kopi dan menganggap sudah ketemu yang paling enak," ujarnya.
Kembali pada soal selera, bagi Hadi, sah saja seseorang suka pada kopi tertentu. Namun, sebaiknya diingat bahwa Indonesia memiliki banyak sekali kopi enak dan sedikit saja orang yang mengerti, apalagi merasakannya. Maka dari itu, lebih baik bagi seseorang untuk menentukan kopi favoritnya setelah mencoba sebanyak mungkin jenis kopi. Setelah lidah merasakan berbagai aroma dan tercerahkan, barulah seseorang boleh berkata, selera bukanlah sesuatu yang bisa diperdebatkan....
No comments:
Post a Comment