Kompas.com - Pada 6 November lalu saya bersama anak laki-laki saya yang berusia 16 tahun berbelanja di Pasar Swalayan Giant, Botani Square, Bogor. Selagi antre di kasir, saya melihat seorang anak laki-laki berdiri di depan saya. Postur tubuhnya lebih kecil dari anak saya. Dari raut wajahnya, saya taksir umurnya pasti tak lebih tua dari anak saya. Yang mengherankan, anak tersebut membeli sebotol vodka, minuman beralkohol.
Pikir saya, mungkin orang ini sebenarnya adalah laki-laki dewasa dengan raut baby face. Nanti kalau dianggap meragukan, pasti kasir akan menanyakan KTP anak tersebut. Namun, harapan saya tidak menjadi kenyataan. Tak ada pertanyaan sepatah kata pun dari kasir. Setelah membayar, anak tersebut memasukkan vodkanya ke dalam tasnya. Mungkin untuk menyembunyikan benda itu dari pandangan umum.
Saat giliran membayar, saya bertanya kepada kasir, ”Mas, tadi anak-anak kok boleh beli minuman keras? Kenapa tidak ditanya KTP-nya?” Kasir kebingungan dan balik bertanya, ”Oh, apa seharusnya begitu ya, Bu? Di sini tidak ada peraturannya.” Bagaimana kita bisa melindungi anak-anak dan generasi muda Indonesia jika minuman keras begitu mudah didapat atau dibeli tanpa ada penegakan hukum?
Saya teringat pengalaman sewaktu mendapat kesempatan berkunjung ke Amerika Serikat. Dalam sebuah acara makan malam, ada teman satu delegasi dari Thailand yang bertubuh mungil dan berwajah baby face minta anggur. Spontan pramusaji menanyakan paspornya karena secara legal mereka hanya boleh menyajikan anggur bagi yang berusia di atas 21 tahun. Karena yang bersangkutan tak membawa paspor, dia tidak boleh minum anggur.
Lira Oktaviani Danau Bogor Raya D2 No 5, Katulampa, Bogor
Pikir saya, mungkin orang ini sebenarnya adalah laki-laki dewasa dengan raut baby face. Nanti kalau dianggap meragukan, pasti kasir akan menanyakan KTP anak tersebut. Namun, harapan saya tidak menjadi kenyataan. Tak ada pertanyaan sepatah kata pun dari kasir. Setelah membayar, anak tersebut memasukkan vodkanya ke dalam tasnya. Mungkin untuk menyembunyikan benda itu dari pandangan umum.
Saat giliran membayar, saya bertanya kepada kasir, ”Mas, tadi anak-anak kok boleh beli minuman keras? Kenapa tidak ditanya KTP-nya?” Kasir kebingungan dan balik bertanya, ”Oh, apa seharusnya begitu ya, Bu? Di sini tidak ada peraturannya.” Bagaimana kita bisa melindungi anak-anak dan generasi muda Indonesia jika minuman keras begitu mudah didapat atau dibeli tanpa ada penegakan hukum?
Saya teringat pengalaman sewaktu mendapat kesempatan berkunjung ke Amerika Serikat. Dalam sebuah acara makan malam, ada teman satu delegasi dari Thailand yang bertubuh mungil dan berwajah baby face minta anggur. Spontan pramusaji menanyakan paspornya karena secara legal mereka hanya boleh menyajikan anggur bagi yang berusia di atas 21 tahun. Karena yang bersangkutan tak membawa paspor, dia tidak boleh minum anggur.
Lira Oktaviani Danau Bogor Raya D2 No 5, Katulampa, Bogor
No comments:
Post a Comment