Kompas.com - Penyimpangan cuaca membuat kawasan Ibu Kota sering mendapat berkat hujan lebat pada musim pancaroba ini. Suhu udara terasa dingin. Untuk menghangatkan badan, cobalah bersantap bakmi rebus dan minum wedang ronde di Warung Bakmi Jawa khas Jogja di Jakarta dan sekitarnya.
Uap berbau harum campuran bawang putih, merica, dan berbagai bumbu lain keluar dari sela-sela wajan yang tertutup. Pengunjung tak sabar menunggu hasil masakan mi rebus dari tangan Mas Pong (51).
Sementara si ”koki” terlihat santai. Tangan kanannya berayun-ayun di atas wajan, lalu sesekali memasukkan irisan kol, suwiran daging ayam kampung, atau irisan daun bawang.
Sementara tangan kiri Mas Pong, pemilik Warung Bakmi Jogja Mas Pong di Kampung Utan Ciputat, Tangerang Selatan, dengan irama tertentu mengipasi anglo (kompor berbahan bakar arang). Kadang kala dari anglo keluar percikan-percikan api kecil ke udara.
Pengunjung warung umumnya pelanggan setia. Maka, ketika pengunjung mendekati tempatnya memasak, dia bisa menyapa mereka. Misalnya, saat sepasang suami-istri memesan mi rebus nyemek (rebus sedikit kuah) tanpa kol, Mas Pong dengan nada ramah langsung mengiyakan.
Di warungnya, orang bisa memilih berbagai masakan mi dan nasi khas Jawa (Jogja) seperti mi goreng nyemek, bihun rebus nyemek, sego goreng, sampai magelangan (campuran nasi dengan bihun/mi). Sebagai pasangannya, selain teh manis kental, atau es jeruk, yang khas adalah wedang ronde.
Seporsi mi atau magelangan berharga Rp 14.000-Rp 19.000, sedangkan minumannya dari Rp 2.000 untuk teh tawar hangat misalnya, sampai Rp 5.000 buat semangkuk wedang ronde berisi kolang-kaling, roti, kacang goreng, dan bulatan ronde yang diguyur hangatnya air jahe.
Warung Bakmi Jogja di Jakarta cukup banyak. Di kawasan Jakarta Selatan ada Bakmi Jogja di Jalan Dharmawangsa Raya II Nomor 10-C, samping Sanatorium Dharmawangsa, dan Bakmi Jogja Mbah Surip di Jalan Ampera Raya, seberang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Di Jakarta Pusat ada Bakmi Jawa di Pejompongan.
Sekalipun bahan dan cara memasaknya sama, memakai ayam kampung dan dimasak dengan anglo, tetap ada sedikit perbedaan rasa antara masakan di warung-warung tersebut. Ada yang rasa masakannya sedikit manis, ada pula yang lebih cenderung gurih.
”Tergantung selera tamu, ada yang suka masakan bakmi di sini, tetapi ada juga yang cocok di tempat lain,” kata Hardjito Soemarno, salah satu pemilik Bakmi Jogja di Dharmawangsa.
Warung yang merupakan usaha patungan dengan adiknya, Djoko Suseno, kini diawasi istri Hardjito, Surawijayanti. Usaha yang sudah dimulai sejak tahun 1998 itu semula berada di Jalan Prapanca Raya. Kini, selain menyediakan bakmi/bihun rebus dan goreng, magelangan, wedang ronde, ada pula menu tambahan soto ayam, ayam goreng/bakar, sampai es buah.
Selain dua warung tersebut, ada pula warung Bakmi Jogja Mbah Surip yang tak kalah beken. Sekalipun sudah memiliki tiga cabang, pengunjung masih setia memilih bersantap di warung sederhana di Jalan Ampera. ”Mungkin karena di sini yang pertama berdiri,” tutur Nofi, putri sulung Mbah Surip yang mengelola warung itu.
Mbah Surip sendiri kini lebih banyak mengurus cabang baru di Jalan Margasatwa (samping SMK Negeri 57), Jakarta Selatan.
Kauman sampai Timoho
Pemilik bakmi Jawa (Jogja) biasanya orang yang sejak awal bergelut dengan urusan kuliner. Mas Pong yang berasal dari Wonosari, Gunung Kidul, Yogyakarta, bercerita perkenalannya dengan mi Jawa dimulai saat dia ”magang” dengan penjual mi yang populer di pelataran kantor Kadin, Yogyakarta, pada 1975-1977.
Dia lalu menjadi pedagang mi keliling (1979-1981). ”Setiap sore sampai sekitar jam satu-dua dini hari saya menyelusuri jalan-jalan dari Kauman, Pakualaman, sampai Timoho (Yogyakarta),” ceritanya.
Ia sempat berganti pekerjaan sebagai sopir, namun tahun 1997 salah seorang pelanggan racikan minya menawari untuk membuka warung mi di kawasan Cirendeu, Ciputat.
Cerita Mbah Surip agak berbeda, sebelum membuka warung bakmi, ia pernah menjadi kepala gudang. Di sana ia mendapat julukan Mbah (kakek) Surip walau sekarang baru berusia 49 tahun. Berkat talenta memasak yang ia miliki, usahanya berjalan sukses.
Kamis (23/9) malam hujan kembali mengguyur Tangerang Selatan. Ah sayang obrolan dengan Mas Pong harus terhenti karena sepiring mi nyemek dengan asap mengepul sudah menanti.
Dingin udara langsung terusir, begitu irisan cabe rawit yang menyertai mi menyentuh lidah. Hmmm... hangat dan nikmat.
Uap berbau harum campuran bawang putih, merica, dan berbagai bumbu lain keluar dari sela-sela wajan yang tertutup. Pengunjung tak sabar menunggu hasil masakan mi rebus dari tangan Mas Pong (51).
Sementara si ”koki” terlihat santai. Tangan kanannya berayun-ayun di atas wajan, lalu sesekali memasukkan irisan kol, suwiran daging ayam kampung, atau irisan daun bawang.
Sementara tangan kiri Mas Pong, pemilik Warung Bakmi Jogja Mas Pong di Kampung Utan Ciputat, Tangerang Selatan, dengan irama tertentu mengipasi anglo (kompor berbahan bakar arang). Kadang kala dari anglo keluar percikan-percikan api kecil ke udara.
Pengunjung warung umumnya pelanggan setia. Maka, ketika pengunjung mendekati tempatnya memasak, dia bisa menyapa mereka. Misalnya, saat sepasang suami-istri memesan mi rebus nyemek (rebus sedikit kuah) tanpa kol, Mas Pong dengan nada ramah langsung mengiyakan.
Di warungnya, orang bisa memilih berbagai masakan mi dan nasi khas Jawa (Jogja) seperti mi goreng nyemek, bihun rebus nyemek, sego goreng, sampai magelangan (campuran nasi dengan bihun/mi). Sebagai pasangannya, selain teh manis kental, atau es jeruk, yang khas adalah wedang ronde.
Seporsi mi atau magelangan berharga Rp 14.000-Rp 19.000, sedangkan minumannya dari Rp 2.000 untuk teh tawar hangat misalnya, sampai Rp 5.000 buat semangkuk wedang ronde berisi kolang-kaling, roti, kacang goreng, dan bulatan ronde yang diguyur hangatnya air jahe.
Warung Bakmi Jogja di Jakarta cukup banyak. Di kawasan Jakarta Selatan ada Bakmi Jogja di Jalan Dharmawangsa Raya II Nomor 10-C, samping Sanatorium Dharmawangsa, dan Bakmi Jogja Mbah Surip di Jalan Ampera Raya, seberang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Di Jakarta Pusat ada Bakmi Jawa di Pejompongan.
Sekalipun bahan dan cara memasaknya sama, memakai ayam kampung dan dimasak dengan anglo, tetap ada sedikit perbedaan rasa antara masakan di warung-warung tersebut. Ada yang rasa masakannya sedikit manis, ada pula yang lebih cenderung gurih.
”Tergantung selera tamu, ada yang suka masakan bakmi di sini, tetapi ada juga yang cocok di tempat lain,” kata Hardjito Soemarno, salah satu pemilik Bakmi Jogja di Dharmawangsa.
Warung yang merupakan usaha patungan dengan adiknya, Djoko Suseno, kini diawasi istri Hardjito, Surawijayanti. Usaha yang sudah dimulai sejak tahun 1998 itu semula berada di Jalan Prapanca Raya. Kini, selain menyediakan bakmi/bihun rebus dan goreng, magelangan, wedang ronde, ada pula menu tambahan soto ayam, ayam goreng/bakar, sampai es buah.
Selain dua warung tersebut, ada pula warung Bakmi Jogja Mbah Surip yang tak kalah beken. Sekalipun sudah memiliki tiga cabang, pengunjung masih setia memilih bersantap di warung sederhana di Jalan Ampera. ”Mungkin karena di sini yang pertama berdiri,” tutur Nofi, putri sulung Mbah Surip yang mengelola warung itu.
Mbah Surip sendiri kini lebih banyak mengurus cabang baru di Jalan Margasatwa (samping SMK Negeri 57), Jakarta Selatan.
Kauman sampai Timoho
Pemilik bakmi Jawa (Jogja) biasanya orang yang sejak awal bergelut dengan urusan kuliner. Mas Pong yang berasal dari Wonosari, Gunung Kidul, Yogyakarta, bercerita perkenalannya dengan mi Jawa dimulai saat dia ”magang” dengan penjual mi yang populer di pelataran kantor Kadin, Yogyakarta, pada 1975-1977.
Dia lalu menjadi pedagang mi keliling (1979-1981). ”Setiap sore sampai sekitar jam satu-dua dini hari saya menyelusuri jalan-jalan dari Kauman, Pakualaman, sampai Timoho (Yogyakarta),” ceritanya.
Ia sempat berganti pekerjaan sebagai sopir, namun tahun 1997 salah seorang pelanggan racikan minya menawari untuk membuka warung mi di kawasan Cirendeu, Ciputat.
Cerita Mbah Surip agak berbeda, sebelum membuka warung bakmi, ia pernah menjadi kepala gudang. Di sana ia mendapat julukan Mbah (kakek) Surip walau sekarang baru berusia 49 tahun. Berkat talenta memasak yang ia miliki, usahanya berjalan sukses.
Kamis (23/9) malam hujan kembali mengguyur Tangerang Selatan. Ah sayang obrolan dengan Mas Pong harus terhenti karena sepiring mi nyemek dengan asap mengepul sudah menanti.
Dingin udara langsung terusir, begitu irisan cabe rawit yang menyertai mi menyentuh lidah. Hmmm... hangat dan nikmat.
No comments:
Post a Comment