Kompas.com - Jika Yogyakarta punya nasi kucing, Pulau Bali juga punya nasi jinggo yang terkenal bahkan hingga ke Bandung, Jawa Barat. Bedanya, nasi jinggo tidak menggunakan menu ikan, tetapi sama-sama enaknya disantap dan menjadi ikon pariwisata.
Nasi jinggo ini buatan Nyoman Ardana (50) dan istrinya, Wayan Indrawati (39), di mana sekepal nasi dibungkus daun pisang, diberi lauk mi goreng, serundeng, potongan tempe, potongan ayam pedas manis, dan sambal.
Nah, sambal ini yang terus dipertahankan meski harga cabai melambung, seperti pada bulan Juli lalu, sebab pelanggan tak menghendaki rasa pedasnya yang pas itu berubah. Gara-gara sambal pula rata-rata pelanggan makan minimal dua bungkus.
”Tiyang (saya) menjaga rasa pelanggan karena ini taruhannya. Mereka (pelanggan) yang menghidupi kami setiap hari. Jadi, seberapa pun mahalnya harga cabai dan bahan-bahan lainnya, tiyang tidak menjadikannya kendala untuk mengurangi porsi dan rasanya. Semuanya bisa disiasati tanpa harus merugi,” kata Ardana.
Tak hanya menjaga rasa, suami-istri ini pun menjaga kebersihan dapurnya. Menengok dapurnya di Gang Mertajaya, Jalan Gunung Agung, Denpasar, mulai panci atau wajan penggorengan, alat-alat lainnya, hingga lantainya bersih. Menurut mereka, kebersihan salah satu kunci keberhasilan dan kepercayaan pelanggan.
Alasannya, terkadang pelanggan datang melihat dapur pembuatannya. Jika kotor, pelanggan otomatis tak nyaman lagi menyantap nasi jinggonya. Mereka dibantu beberapa karyawan yang mulai memasak sejak pagi dan membungkus siang hari menjelang sore. Meski dibungkus pada siang hari, seluruh nasi tidak basi disantap pada malam harinya hingga esok hari. Nasi ini yang dikirim dengan pesawat masih bisa disantap oleh para pelanggan di Bandung.
Rahasianya, harus menggunakan bahan berkualitas nomor satu dalam memanjakan lidah pelanggannya hingga cara memasaknya. Bumbu-bumbunya berkualitas, termasuk daun pisang pembungkusnya pun tak sembarangan. Semuanya dipesan khusus. Uniknya, bungkusan nasi jinggo mirip topi.
Berawal dari coba-coba menjual puluhan nasi bungkus, sekitar 20 tahun lalu dengan harga Rp 50 per bungkus, kini mereka mengantongi pendapatannya bisa lebih dari Rp 10 juta per bulan dengan pesanan yang tidak hanya di Bali, tetapi sampai ke Bandung. Jika di Bali harga nasi jinggo per bungkus dijual pedagang mulai Rp 2.000 sampai Rp 4.000, di Bandung bisa dijual mulai dari Rp 5.000 per bungkus. Ardana mengaku hanya mengambil Rp 2.000 untuk satu bungkusnya, berapa pun harga yang dijual pedagang.
Nama jinggo yang kini melekat dengan nasi bungkus masakan Ardana dan istrinya ini justru berasal dari masyarakat karena mereka tidak pernah melabeli nasinya. ”Katanya, masyarakat yang pernah tiyang tanya, nasi bungkusnya ini paling murah zaman itu dan enak. Porsinya yang pas sekepalan tangan ini membuat orang pingin nambah-nambah terus. Rata-rata pembeli menyantap minimal dua bungkus,” ujar Ardana.
Ardana dan keluarga tak terbayang, nasi jinggo bakal terkenal dan menjadi ikon pariwisata Pulau Dewata. Banyak kaus oleh-oleh Bali pun menyablon gambar nasi jinggo.
Menjelang malam, Ardana dengan sepeda motor mengedarkan sendiri sejumlah keranjang berisi 500 bungkus per keranjang ini kepada pedagang. Keuntungan yang diraupnya setiap malam minimal berasal dari 2.000 bungkus yang dititipkan di beberapa pedagang kaki lima untuk para pelanggan setia.
Pedagang kaki lima ini khusus berjualan nasi jinggo yang biasanya dipadu dengan keripik kulit ayam, usus ayam goreng, atau kerupuk. Hanya saja, peredaran nasi jinggo milik Ardana di Bali masih sekitar Denpasar. Mendapatkan nasi jinggo bersemat merah muda, pembaca bisa mencari di Jalan Gajah Mada dan Jalan Setiabudi.
Memasuki tengah malam setiap harinya, ratusan nasi jinggo Ardana biasanya sudah ludes. Jika malam minggu tiba, ia bisa membungkus hingga lebih dari 3.000 bungkus. Bapak tiga anak ini pun bisa mengirim kembali menjelang tengah malam. ”Maklum, banyak anak muda yang nongkrong sampai pagi kalau liburan,” ujarnya.
Hobi makan
Ardana mengaku, pada mulanya dia meminjam modal awal dari orangtuanya. Maklum, ia belum punya pekerjaan tetap untuk menghidupi keluarga. Pilihan pada bisnis makanan ini pun karena suami-istri ini punya hobi makan.
Sekarang ia lega, pilihannya meminjam uang dan memilih bisnis makanan tidak salah. Pendapatannya cukup untuk membeli rumah dan mobil. Kesuksesannya mengelola nasi jinggo pun mengantarkan anaknya bisa kuliah.
Karena sangat menghargai pelanggan, mereka menolak pesanan dadakan. Jika ingin pesan, mereka meminta untuk datang beberapa hari sebelumnya. ”Kami tidak mau mengecewakan pelanggan tetap setiap malam yang mencari nasi jinggo ini dengan memberikan kepada pemesan dadakan. Bungkusan 2.000 nasi ini tidak bisa dikurangi demi satu pelanggan mendadak ini. Kami tidak takut rugi meski pelanggan mendadak ini berani membayar mahal,” ujar Ardana.
Beberapa tahun terakhir, nasi jinggo makin populer di kalangan wisatawan mancanegara ataupun lokal. Katanya, tidak lengkap ke Bali jika belum menyempatkan diri untuk menyantap nasi jinggo. Sayangnya, nasi jinggo yang asli pertama buatan Ardana pun semakin banyak tiruannya dengan lauk dan rasa yang berbeda.
Biar calon pelanggan tidak salah membeli nasi jinggo asli dan palsu saat di Bali, cermati saja sematnya (lidi atau bambu pengunci daun) yang ada dipembungkus nasi jinggo. Jika ada semat berwarna merah, itu adalah nasi jinggo asli buatan Ardana. Sementara nasi jinggo yang mulai dijual di berbagai pinggiran jalan Pulau Dewata bersemat tanpa warna merah dan ini palsu.
”Maklum, ini bisnis makanan. Jika kita tidak mempertahankan selera pelanggan, berubah rasa sedikit saja, mereka pergi dari kita. Apalagi, persaingan mulai ketat. Jadi, kami mempertahankan apa yang sudah ada dari awal hingga sekarang,” katanya.
Nasi jinggo ini buatan Nyoman Ardana (50) dan istrinya, Wayan Indrawati (39), di mana sekepal nasi dibungkus daun pisang, diberi lauk mi goreng, serundeng, potongan tempe, potongan ayam pedas manis, dan sambal.
Nah, sambal ini yang terus dipertahankan meski harga cabai melambung, seperti pada bulan Juli lalu, sebab pelanggan tak menghendaki rasa pedasnya yang pas itu berubah. Gara-gara sambal pula rata-rata pelanggan makan minimal dua bungkus.
”Tiyang (saya) menjaga rasa pelanggan karena ini taruhannya. Mereka (pelanggan) yang menghidupi kami setiap hari. Jadi, seberapa pun mahalnya harga cabai dan bahan-bahan lainnya, tiyang tidak menjadikannya kendala untuk mengurangi porsi dan rasanya. Semuanya bisa disiasati tanpa harus merugi,” kata Ardana.
Tak hanya menjaga rasa, suami-istri ini pun menjaga kebersihan dapurnya. Menengok dapurnya di Gang Mertajaya, Jalan Gunung Agung, Denpasar, mulai panci atau wajan penggorengan, alat-alat lainnya, hingga lantainya bersih. Menurut mereka, kebersihan salah satu kunci keberhasilan dan kepercayaan pelanggan.
Alasannya, terkadang pelanggan datang melihat dapur pembuatannya. Jika kotor, pelanggan otomatis tak nyaman lagi menyantap nasi jinggonya. Mereka dibantu beberapa karyawan yang mulai memasak sejak pagi dan membungkus siang hari menjelang sore. Meski dibungkus pada siang hari, seluruh nasi tidak basi disantap pada malam harinya hingga esok hari. Nasi ini yang dikirim dengan pesawat masih bisa disantap oleh para pelanggan di Bandung.
Rahasianya, harus menggunakan bahan berkualitas nomor satu dalam memanjakan lidah pelanggannya hingga cara memasaknya. Bumbu-bumbunya berkualitas, termasuk daun pisang pembungkusnya pun tak sembarangan. Semuanya dipesan khusus. Uniknya, bungkusan nasi jinggo mirip topi.
Berawal dari coba-coba menjual puluhan nasi bungkus, sekitar 20 tahun lalu dengan harga Rp 50 per bungkus, kini mereka mengantongi pendapatannya bisa lebih dari Rp 10 juta per bulan dengan pesanan yang tidak hanya di Bali, tetapi sampai ke Bandung. Jika di Bali harga nasi jinggo per bungkus dijual pedagang mulai Rp 2.000 sampai Rp 4.000, di Bandung bisa dijual mulai dari Rp 5.000 per bungkus. Ardana mengaku hanya mengambil Rp 2.000 untuk satu bungkusnya, berapa pun harga yang dijual pedagang.
Nama jinggo yang kini melekat dengan nasi bungkus masakan Ardana dan istrinya ini justru berasal dari masyarakat karena mereka tidak pernah melabeli nasinya. ”Katanya, masyarakat yang pernah tiyang tanya, nasi bungkusnya ini paling murah zaman itu dan enak. Porsinya yang pas sekepalan tangan ini membuat orang pingin nambah-nambah terus. Rata-rata pembeli menyantap minimal dua bungkus,” ujar Ardana.
Ardana dan keluarga tak terbayang, nasi jinggo bakal terkenal dan menjadi ikon pariwisata Pulau Dewata. Banyak kaus oleh-oleh Bali pun menyablon gambar nasi jinggo.
Menjelang malam, Ardana dengan sepeda motor mengedarkan sendiri sejumlah keranjang berisi 500 bungkus per keranjang ini kepada pedagang. Keuntungan yang diraupnya setiap malam minimal berasal dari 2.000 bungkus yang dititipkan di beberapa pedagang kaki lima untuk para pelanggan setia.
Pedagang kaki lima ini khusus berjualan nasi jinggo yang biasanya dipadu dengan keripik kulit ayam, usus ayam goreng, atau kerupuk. Hanya saja, peredaran nasi jinggo milik Ardana di Bali masih sekitar Denpasar. Mendapatkan nasi jinggo bersemat merah muda, pembaca bisa mencari di Jalan Gajah Mada dan Jalan Setiabudi.
Memasuki tengah malam setiap harinya, ratusan nasi jinggo Ardana biasanya sudah ludes. Jika malam minggu tiba, ia bisa membungkus hingga lebih dari 3.000 bungkus. Bapak tiga anak ini pun bisa mengirim kembali menjelang tengah malam. ”Maklum, banyak anak muda yang nongkrong sampai pagi kalau liburan,” ujarnya.
Hobi makan
Ardana mengaku, pada mulanya dia meminjam modal awal dari orangtuanya. Maklum, ia belum punya pekerjaan tetap untuk menghidupi keluarga. Pilihan pada bisnis makanan ini pun karena suami-istri ini punya hobi makan.
Sekarang ia lega, pilihannya meminjam uang dan memilih bisnis makanan tidak salah. Pendapatannya cukup untuk membeli rumah dan mobil. Kesuksesannya mengelola nasi jinggo pun mengantarkan anaknya bisa kuliah.
Karena sangat menghargai pelanggan, mereka menolak pesanan dadakan. Jika ingin pesan, mereka meminta untuk datang beberapa hari sebelumnya. ”Kami tidak mau mengecewakan pelanggan tetap setiap malam yang mencari nasi jinggo ini dengan memberikan kepada pemesan dadakan. Bungkusan 2.000 nasi ini tidak bisa dikurangi demi satu pelanggan mendadak ini. Kami tidak takut rugi meski pelanggan mendadak ini berani membayar mahal,” ujar Ardana.
Beberapa tahun terakhir, nasi jinggo makin populer di kalangan wisatawan mancanegara ataupun lokal. Katanya, tidak lengkap ke Bali jika belum menyempatkan diri untuk menyantap nasi jinggo. Sayangnya, nasi jinggo yang asli pertama buatan Ardana pun semakin banyak tiruannya dengan lauk dan rasa yang berbeda.
Biar calon pelanggan tidak salah membeli nasi jinggo asli dan palsu saat di Bali, cermati saja sematnya (lidi atau bambu pengunci daun) yang ada dipembungkus nasi jinggo. Jika ada semat berwarna merah, itu adalah nasi jinggo asli buatan Ardana. Sementara nasi jinggo yang mulai dijual di berbagai pinggiran jalan Pulau Dewata bersemat tanpa warna merah dan ini palsu.
”Maklum, ini bisnis makanan. Jika kita tidak mempertahankan selera pelanggan, berubah rasa sedikit saja, mereka pergi dari kita. Apalagi, persaingan mulai ketat. Jadi, kami mempertahankan apa yang sudah ada dari awal hingga sekarang,” katanya.
No comments:
Post a Comment